Si Tikus di Bawah Rak Piring

Aku tikus. Sudah menjadi takdirku untuk dibenci manusia. Diberi tatapan jijik. Diteriaki. Dikejar-kejar. Dan lain-lainnya. 

Sampai suatu hari, aku masuk ke sebuah rumah. Ada aroma sedap dari rumah itu, dan aku segera bersembunyi di bawah rak piring yang gelap dan lembab. Dari situ aku bisa mengawasi langsung tempat sampah. Gudang makanan favoritku, 

Si ibu baru saja selesai mencuci piring dan hendak membuang sampah. Aku menahan napas. Aku tak boleh ketahuan di waktu-waktu genting ini. Saat ibu menutup pintu dapur, saatnya aku beraksi. Aku menggigit makanan apa saja. Aku memang tak terlalu pemilih. Yang penting perutku kenyang. 

Saat sedang asyik, seorang anak datang. Aku berusaha tak bergerak di dalam tempat sampah agar dia tak menyadari keberadaanku. Tak lama, dia pergi. Aku mengintip keluar dan aku sangat kaget. Ada sepotong ayam rebus. Tanpa pikir panjang langsung kugigit dan kubawa lari ke bawah rak piring. Lezat sekali. 

Waktu usai sarapan, aku masih berada di tempat yang sama. Sebenarnya aku takut kalau-kalau ibu menyimpan lem tikus, atau racun tikus. Namun, sepertinya itu tidak terjadi. Malah, lagi-lagi anak itu datang, kali ini dia membawa labu dan wortel rebus. Aku melihat sebuah tongkat lolipop menyembul dari mulutnya. Hidungku kembang kempis Kumisku naik turun. Begitu sepi, kusambar makanan itu, lagi-lagi perutku kenyang tanpa banyak usaha.

Waktu makan siang, waktu makan malam, sarapan, dan esoknya lagi selalu begitu. Anak itu membuang makanan-makanan yang enak sekali. Tak cuma itu, dia juga dengan rajin menyapu remah-remah yang kutinggalkan. Mungkin itu kenapa kulihat ibunya tak pernah berusaha mengejarku. Jangan=jangan ibunya tak tahu aku ada. 

Akan tetapi, kuperhatikan dari hari ke hari, tubuh anak itu makin kurus. Langkahnya makin lemah. Aku juga mendengar ia sering batuk-batuk, namun tetap saja ia meletakkan makanan-makanan enak itu. Bahkan, jumlahnya semakin besar saja. Malah badanku yang semakin gemuk sekarang. Sayang, kali ini aksinya ketahuan si Ibu. Si Ibu marah besar.

Sorenya, sekeluarga itu pergi. Si Ibu terlihat menyiapkan obat-obatan dan berbagai perbekalan. Aku mendengar kata-kata seperti dokter dan rumah sakit diulang-ulang. Besoknya, mereka juga belum kembali. Akhirnya aku pergi dari rumah itu karena kehabisan makanan. 

Aku pindah ke rumah di depan rumah mereka. Walau pemiliknya galak dan selalu mengejarku, tapi dia malas menyapu. Aku suka, karena tempat ini jadi nyaman. 

Suatu pagi, aku merasakan deru kendaraan datang di rumah seberang. Aku mengintip senang. Aku menunggu-nunggu si anak keluar. Rasanya aku ingin mengendus-endus kakinya yang selalu membawa makanan lezat untukku. 

Akan tetapi, saat anak itu keluar, jantungku hampir copot rasanya. Ia menggendong seekor kucing yang besar, dan mata kucing itu menatap tajam tepat ke arah kedua bola mataku. HUH!

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar