Tudne, Ratni dan Maidne pergi ke silat camp diantar Tapmologa. Mereka menggendong tas ransel.
“Selamat tinggal, kawan,” kata Ratni sambil melambai-lambai.
Tudne dan Maidne juga berpamitan pada semua guru dan kawan-kawan..
Pugu ikut melambai diantar Nenek Itahkia. Pugu terlihat sedih, Nenek menepuk punggung Pugu.
“Ka.. ka.. si.. an Hobe,” katanya lirih.
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan,” hibur Nenek Itahkia.
Sore harinya, Hobe baru bisa kembali ke padepokan.
“Ini obatnya,” Hobe datang bawa obat.
“Ma.. maa.. af yah, ga.. gara gara.. a..ku.. Hobe tidak ke si.. silat camp,” kata Pugu terbata
Pugu memandang sedih. Hobe hanya nyengir sambil memegang belakang kepalanya dengan santai.
“Tidak apa-apa yang penting kamu sembuh!” kata Hobe serius.
Dalam hatinya sebetulnya sedih tidak bisa ke silat camp impian.
Hobe cepat-cepat beranjak menuangkan obat untuk menutupi gundahnya.
“Te.. te.. rima kasih,” kata Pugu merangkul Hobe.
“Yang penting kita selalu berteman,” Hobe balas merangkul.
“Te.. teman,” Pugu gembira
Nenek Itahkia memandang kagum
Kehidupan di padepokan berjalan seperti biasa. Anak-anak memanggul air di pagi hari. Lalu berlatih silat. Hobe dan Pugu sudah melupakan Silat Camp, mereka ikut asyik bekerja.
Hobe dan Pugu sesekali bercanda dan tertawa. Air di ember bercipratan.
Talisatni memperhatikan mereka dengan kagum. Ia senang dengan persahabatan dan kebesaran hati Pugu dan Hobe.
“Kemari kalian,” katanya Talisatni memanggil mereka.
Hobe dan Pugu kaget tiba-tiba dipanggil.
“Kamu sih main-main air,” bisik Hobe.
“Ma.. ma.. sa sih?” Pugu jadi ketakutan.
“Iya, air itu harus dihemat tahu,” Hobe mendorong Pugu masuk ke tempat Talisatni.
Talisatni tersenyum geli melihat mereka berdua.
“Aku sudah mendengar tentang kalian dari Ibu,” kata Talisatni
Nenek Itahkia ternyata sudah ada di dalam dan tersenyum menyambut.
“Aku akan memberi hadiah atas persahabatan tulus kalian,” kata Talisatni lagi
“Asyik!” Hobe melompat girang. Dalam bayangannya, mereka akan mendapat kado istimewa.
“Nanti sore, datanglah kemari, pakai baju terbaik kalian,” Talisatni tersenyum.
“Wah, hadiahnya apa yah?” Hobe penasaran sambil mondar mandir.
“Ba… baju?” Pugu menebak sambil membayangkan baju bagus
“Tidak mungkin!” bantah Hobe
“Kita kan disuruh pakai baju bagus,” gumamnya lagi sambil masih berpikir
“Sudahlah, yuk mandi dan bersiap!” kata Hobe lagi.
Hobe disusul Pugu ke kamar mandi, membawa handuk
“Kalian sudah datang,” Talisatni menyambut mereka.
“Ini bekal untuk kalian, hati-hati di jalan,” kata Nenek Itahkia sambil mengangsurkan bungkusan.
“Loh, kita mau kemana?” tanya Hobe bingung.
Pugu juga tak kalah bengong, bubar sudah bayangan hadiah baju barunya.
“Kita akan ke Silat Camp. Kalian utusan istimewa karena persahabatan kalian yang tulus. Itulah yang terpenting dimiliki seorang pendekar, hati yang putih!” tiba-tiba Talisoga muncul.
Pugu dan Hobe girang bukan kepalang mendengarnya.
Sore itu juga Hobe dan Pugu diantar Talisatni ke silat camp.
%%%%%
Perjalanan ke Silat Camp cukup jauh. Diperkirakan memakan waktu 2 hari 2 malam.
“Masih jauh yah?” keluh Hobe.
“Baru saja keluar padepokan,” cibir Talisatni.
“Ki.. ki.. ta na.. ik apa?” tanya Pugu celingukan.
“Jalan,” Talisatni terus berjalan tidak peduli dua anak itu ngos-ngosan.
Mereka sampai di tengah hutan HijauToska. Hari menjelang gelap.
“Istirahat dulu,” kata Talisatni.
“Di.. di.. ngin,” Pugu menggigil.
“Cari kayu bakar dong,” kata Talisatni mengerling pada Hobe.
Hobe sigap pergi mencari kayu bakar.
Mereka membuat api unggun dan mendirikan kemah.
“La.. la.. par,” kata Pugu gemetaran.
“Ngg, kita tangkap kelinci,” lagi-lagi Talisatni mengerling pada Hobe.
Hobe sigap berdiri mencari kelinci.
Setelah berpeluh-peluh akhirnya Hobe berhasil menangkap anak kelinci.
“Masih kecil, kasihan,” kata Talisatni.
“Lalu?” Hobe kelihatan frustasi.
Menangkap kelinci kecil saja susah, ini malah disuruh yang besar.
“Lepasin lagi deh,” kata Talisatni.
Hobe misruh-misruh melepaskan kelinci itu.
“Kita jadi makan apa?” tanya Hobe yang sudah terlentang kelelahan.
Talisatni tidak menjawab, hanya membuka bungkusan kalem.
“Ohya, kita kan bawa bekal dari Nenek Itahkia!” jerit Hobe.
Pugu melonjak lonjak gembira.
Mereka kemudian makan dengan lahap. Dan akhirnya tertidur.
Kelinci yang dilepas Hobe ternyata tidak pergi. Ia ikut tidur di dekapan Hobe.
Tengah malam, tiba-tiba mereka terbangun dikejutkan suara.
“Tolong tolong!” katanya sayup-sayup.
Sebagai seorang pendekar sejati mereka sigap akan menolong.
“Siapa yah?” bisik Talistni.
“Iya di hutan gelap begini, malam-malam pula,” Hobe merinding.
“Ha.. hantu,” Pugu ketakutan.
“Stt.. masa hantu sih?” Talisani mencoba menguatkan diri padahal hatinya juga takut.
“Ki.. kita… tidur.. la.. lagi aja.. yah?” ajak Pugu menarik selimut.
“Hush, pendekar sejati tidak boleh begitu,” kata Talisatni.
“Jadi?” Hobe menunggu perintah.
“Yah, kita tolong,” ajak Talisatni.
Dengan berpegangan tangan mereka menuju arah suara.
“To.. tolong, blep blep,” sebuah suara dari arah sungai.
Tampak tangan seseorang menggapai-gapai.
“Ah, bukan hantu!” Hobe senang melihatnya.
Cahaya bulan ikut menerangi mereka.
Hobe dan Talisatni menghampiri pinggir sungai.
“Wakakakak..,” Hobe tertawa sambil guling-guling.
Talisatni juga tersenyum.
“Coba berdiri saja,” kata Talisatni pada orang yang tenggelam.
Orang itu mengangkat kepala dan perlahan berdiri. Akhirnya ia tertawa.
“Thernyata thidak dhalam,” kata orang itu malu-malu.
Talisatni dan Hobe mengajak orang itu ke kemah mereka.
Mereka lalu duduk di dekat api unggun. Orang itu menggosok-gosok tangan dan mengeringkan bajunya yang basah kuyup. Hobe dan Pugu memperhatikan orang itu yang tinggi besar dan berwajah asing.
Mereka lalu berkenalan.
“Shaya.. Adrean,” kenalnya.
“Lagi apa di hutan malam-malam?” tanya Talisatni penasaran.
“Shaya shedang bhertapa di churug, mhata ayir di hulu shungai,” jelasnya.
“Tapi thergelincir,” lanjutnya.
“Lalu tenggelam, wakakak,” Hobe tak tahan tertawa.
“Hush!” Talisatni mengingatkan.
“Iya untung ada kalian menolong,” kata Adrean.
“Hmm, sungai itu kan cuma selutut,” Hobe cengar-cengir.
Adrean tertawa malu.
“Bukan asli orang sini yah?’ tanya Talisatni yang penasaran dengan logat aneh Adrean.
“Bhetul, shaya dari lhuar negri. Kesini mhau berlarjar shilat,” katanya bangga.
“Wah, kebetulan, kami ini murid padepokan paling terkenal seantero jagat,” Hobe berdiri.
“Hobe!” Talsatni mengingatkan.
“Ohya?” Adrean terlihat gembira.
Talisatni dan Hobe bergantian bercerita tentang padepokan Gajah Duduk.
Tiba-tiba Adrean berdiri mengacungkan tangan,
“Ihni dhia phadephokan shilat yhang ike chari!”
Talisatni dan Hobe ber-tos ria.
“Shaya akhan dafthar itu padephokan,” katanya sungguh-sungguh.
“Tapi mener, padepokan kita muridnya anak-anak semua,” jelas Hobe.
“Shiapa yhang mhau jadi murid, shaya mhau jhadi ghuru, kok,” Aderan mendelik.
Talisatni terperangah.
“Bukannya tadi mau belajar silat?” tanya Talisatni.
“Anthar shaya kesana, shaya ini guru cerdas,” katanya.
Talisatni berpikir lama. Apa kata Talisoga nanti yah, dia bawa guru aneh kayak begini?
Satu Tapmologa juga sudah kacau apalagi tambah Adrean?
Bersambung…
(Silat Boys pernah diterbitkan menjadi Nomic – Novel Komik di Penerbit Anak Kita, 2014)