Rani anak bungsu Mang Ujang dan Bi Atun. Mereka semua tetangga Kakek. Mang Ujang pernah bekerja di bandar ubi terbesar di Cilembu. Bandar ubi itu tidak saja menjual ubi-ubinya ke kota-kota besar di Indonesia, tapi juga mengekspornya ke Jepang, Malaysia dan Singapura.
“Ubi untuk ekspor itu dipilih yang paling bagus,” kata Mang Ujang, “Ubi yang bentuknya tidak bulat dan tidak terlalu kecil, yaitu ubi yang lonjong dan beratnya yang hampir sama, adalah ubi yang dipilih untuk ekspor. Satu per satu ubi-ubi itu dilapisi dengan aluminium poil. Katanya ubi untuk eksport itu harganya bisa lima kali lipat harga ubi di sini.”
***
Kebun ubi Kakek sebenarnya tidak jauh. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari rumah. Karena kebun ubi pendek, dari kejauhan Sita bisa melihat yang sedang memanen ubi.
“Nah, kebunnya di dekat pohon besar yang ada saung, gubuk.” Kakek menunjuk kebun yang akan dipanen.
Setelah sampai, saat Kakek, Mang Ujang dan Bik Atun mempersiapkan peralatan panen, Sita malah berfoto-foto.
“Rani, kita foto-foto dulu yuk,” ajak Sita.
“Ayo,” jawab Rani.
“Kamu ikutan difoto ya di kebun, di sana dekat ayahmu,” pinta Sita.
“Ah, malu ah, kalau difoto,” jawab Rani.
“Ah, kamu Ran, ada-ada saja, difoto aja malu. Ya, sudah deh saya foto yang lain saja.”
Sita memijit tombol di kameranya. Dan klik, foto Kakek dan Mang Ujang yang sedang mencangkul menjadi sasaran kameranya. Begitu juga Bi Atun yang sedang mencungkil ubi.
“Eh… eh, Neng, kok difoto segala, malu atuh Bibi mah. Neng,” kata Bi Atun sambil menundukkan kepalanya.
“Ih, Bi Atun, sama kaya Rani, masa difoto aja malu. Ayo, lihat sini, Bi, biar jadi sumber berita tugas Rani hehe…,” sahut Rani.
Selesai Sita mengambil foto, Sita meminta Rani memotret dirinya di kebun ubi. Sambil memegang cangkul, sambil memegang pohon ubi dan memegang ubi dekat Bi Atun. Selesai berfoto, Sita memasukkan kamera ke tasnya, lalu mengeluarkan buku catatan dan pensilnya. Sita mulai menulis.
Catatan Penting Memanen Ubi :
- Gundukan tanah dicangkul, sampai tanah dan pohon ubi terbalik dan terlihat ubi di bawahnya.
- Ubi yang masih di dalam tanah, dicungkil menggunkan rokrak, potongan bambu yang panjangnya sekitar 20 cm.
- Ubi kemudian dikumpulkan, dipisahkan antara ubi yang besar dan ubi yang kecil.
“Sita, ayo Nak, bantu Bi Atun, munguti ubi,” teriak Kakek.
“Oh, iya siap Kek, ini loh Sita lagi menulis catatan penting memanen ubi, dan yang pertama sudah selesai.”
Sita merapikan buku dan pensilnya ke dalam tas, lalu menyingsingkan lengan bajunya.
“Sita siap beraksi, yuhuuuui!” seru Sita ceria sekali. Sita berlari mendekati Rani.
Sita mengambil rokrak untuk mencungkil ubi-ubi di dalam tanah.
“Waah, ini ubinya bersar sekali ya Ran, lihat sebesar betis Sita!”
Rani mengangguk, tersenyum.
“Wah Ran, yang ini kaya ekor tikus haha.”
“Ah, kamu Sita, bisa aja hehe….”
Sita tertawa-tawa bersama Rani. Yang lainnya ikut tertawa.
“Neng Sita, ubinya dikumpulkan di sini ya,” kata Bi Atun.
Sita memunguti ubi-ubi yang berserakan di atas gundukan tanah.
“Ini ubi yang besar di kanan dan yang kecil di kiri,” kata Sita sambil menyimpan ubi-ubi di tempat yang berbeda.
“Bi Atun, ini kok ubinya banyak bintik-bintik? Kaya bekas ditusuk-tusuk?” tanya Sita.
“Itu karena ulat Neng, namanya lanas,ulat pada ubi.”
“Tapi ubinya boleh dimakan?”
“Itu mah dibuang saja Neng, dimakan juga pahit.”
“Oo,” Sita membulatkan mulutnya sambil manggut-manggut.
bersambung……