Bab 5
Suku Paling Ramah
Bufi merapatkan badan ke sisi Ajeng dan berbisik, “Jeng, mendingan kita pergi dari sini, yuk. Benar kata orang, kalau ….”
Belum sempat Bufi menyelesaikan ucapan, dari arah belakang dua pria yang menghadang tadi, datang lagi seorang kakek menggunakan ikat kepala berhias bulu burung.
“Ada apa ini?”
“Ketua,” panggil mereka seraya mengangguk hormat.
Kedua pria itu lalu menyingkir dan memberi jalan Ketua Suku untuk maju ke depan. Dengan bahasa yang tak dimengerti Ajeng, mereka menyampaikan sesuatu. Sontak kakek tua yang menjadi sesepuh sekaligus Ketua Suku mengangguk-angguk.
“Ayo, kalian masuk!” Ketua Suku mempersilakan Ajeng dan Bufi.
Lalu, dia berkata pada dua pria itu. “Tamu adalah keberkahan, kalian harus menghormati mereka.”
Dua pria itu mengangguk. “Maafkan kami, Ketua.”
“Terima kasih, Ketua,” ucap Ajeng senang setelah dapat izin untuk masuk.
“Siapa nama kalian?”
“Aku Ajeng dan ini Bufi. Kami ke sini karena ingin mengenal kebudayaan Suku Dayak, Ketua.”
Ketua Suku mengangguk-angguk dan mempersilakannya untuk menyaksikan upacara adat Naik Dango dan Tari Jonggan.
Upacara adat Naik Dango sendiri diselenggarakan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, atas keberhasilan panen padi oleh Suku Dayak Kanayatn.
Sedangkan Tari Jonggan, merupakan tari yang menceritakan suka cita dan kebahagiaan dalam pergaulan muda-mudi Dayak Kanayatn.
Tempat duduk khusus untuk Ajeng dan Bufi pun disediakan, sebagai tamu kehormatan.
“Kamu lihat, kan, Bufi. Mereka begitu ramah.”
“Iya, benar.”
“Kapan Tari Jonggan dimulai, ya?”
“Nanti, Jeng. Sebelum acara dimulai, Ketua Suku akan mengadakan ritual Nyangahant dan Bapanang lebih dahulu.”
“Apa itu Nyangahant dan Bapanang?”
Bufi yang paham pun menjelaskan, tentang riatual Nyangahant yang berarti doa untuk meminta izin atau perlindungan kepada Tuhan agar pertunjukan lancar. Sementara Bapanang, berarti penyampaian doa hajat oleh pemimpin upacara yang dilakukan di depan sesaji yang sudah disiapkan.
“Ternyata kamu tahu banyak, ya, Buf.”
“Iya, dong.”
Setelah acara ritual Nyangahant dan Bapanang dilakukan, tibalah acara yang ditunggu-tunggu Ajeng. Anak perempuan yang mengenakan rok batik itu heboh sendiri. Dia bersorak gembira saat para penari ambil formasi di atas panggung.
“Lihat, Bufi. Acara tariannya akan dimulai!” seru Ajeng, kemudian bangkit dari kursi.
“Iya, Ajeng … iya.”
Bufi menahan tawa sambil geleng-geleng saat menatap tingkah Ajeng.
“Bufi, apa nama baju Suku Dayak? Aku suka motifnya.”
“Itu, atasan yang serupa rompi tanpa lengan namanya sape kancet, Jeng. Kalau rok sebawah lutut itu, namanya ta’a.”
Tatapan Ajeng terus memperhatikan entakan kaki, lambaian tangan, dan goyangan badan yang menjadi ciri khas Tari Jonggan. Lemah gemulai para penari bergerak, kian anggun dengan hiasan bulu burung di tangan.
Busana penari yang seragam dengan motif berlajur dan berjulur menjadi ciri yang mencolok. Sape kancet dan ta’a, keduanya memakai dasaran hitam dan banyak hiasan manik-maniknya.
Ritual dan tarian Suku Dayak Kanayatn memang khas dan unik. Kegembiraan Ajeng makin membuncah saat salah seorang penari mengajaknya menari.
“Hai, namaku Ega,” sapa sang penari. “Mari, ikut menari,” ajaknya.
Ajeng langsung berdiri dan mengiakan ajakannya. Dengan lincah, dia mengikuti gerakan penari yang selaras dengan alunan musik khas Suku Dayak. Tari Jonggan juga makin meriah ketika para penari saling balas pantun.
“Kak Ega, apa setiap diadakan acara Tari Jonggan, selalu meriah dan seru kayak gini?” tanya Ajeng masih semangat menari.
“Iya, Ajeng. Tari Jonggan emang unik, ‘kan? Para penari mengajak penonton ikut menari, dan ada balas pantun juga. Ini ditujukan ritual yang komunikatif dan interaktif tinggi. Umur kamu berapa, sih, Jeng? Kok, cepat pintar mengikuti gerakan tari ini?”
“Sebelas tahun, Kak. Aku emang suka menari. Aku juga ingin jadi penari tradisional.”
“Wah, kamu hebat, Jeng. Kecil-kecil udah sangat lincah. Kamu pasti akan jadi penari profesional nanti,” sanjung Ega.
“Terima kasih, Kak. Gerakan Kakak juga luwes,” puji Ajeng.
Setelah semua ritual dan tarian selesai, Ketua Suku menjamu Ajeng dan Bufi dengan makanan khas Suku Dayak Kanayatn.
Ajeng dan Bufi langsung menelan ludah, melihat hidangan yang menggugah selera. Ega yang ikut menemani mereka makan, menerangkan satu per satu makanannya. Ada keripik kelakai, sayur umbut kelapa, botok mengkudu, dan lain sebagainya.
“Ini namanya juhu singkah, Jeng. Bahan utamanya dari rotan muda yang diolah dengan ikan baung, dilengkapi rempah dan santan.”
“Rotan?” Ajeng terbelalak mendengar kata rotan.
Bagaimana bisa, rotan dibuat makanan? Dia jadi ingat, dengan kursi rotan yang ada di rumah Nenek. Kursi itu kuat dan keras.
“Ini beda sama rotan yang dibuat anyaman, Jeng,” sindir Bufi yang seakan-akan tahu isi kepala Ajeng.
Ajeng mengernyih, menunjukkan deretan gigi putihnya. “Oh, kirain. Kalau gitu aku mau coba.”
Ajeng menyodorkan piring yang terbuat dari tanah liat dan dialasi daun pisang. Ega yang melayani, menyendokkan juhu singkah di atas piring.
“Silakan dimakan, Jeng.”
“Kalau ini apa, Kak?” tunjuk Ajeng.
“Ini bangamat, bahan utamanya kelelawar besar yang ditambah hati batang pohon pisang.”
Seketika Ajeng bergidik ngeri. “Apa? Kelelawar?!”
“Ini enak, kok, Jeng. Coba, deh!” Ega menawari.
Meski sedikit ragu karena belum pernah mencicipi, Ajeng tetap mencoba sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah. Dia kemudian menyuapkan sesendok makanan itu ke mulut. Setelah dikunyah, baru dia tahu, makanan khas Suku Dayak begitu lezat.
Rotan mudanya tak keras, tak seperti yang dibayangkan Ajeng. Rasa bangamat juga enak, mirip ayam kampung.
“Gimana, enak kan, Jeng?”
“Ehem, enyak,” jawabnya dengan mulut penuh makanan sambil mengangguk.
Semua orang tertawa, melihat Ajeng menikmati makanannya. Bufi baru menyadari, Suku Dayak tidak seseram yang dibicarakan orang. Suku Dayak adalah suku paling ramah.
Kini Ajeng dan Bufi berpamitan kepada Ketua Suku dan semua orang, terutama Kak Ega. Mereka mengucapkan terima kasih atas jamuan dan penyambutan yang berkesan.
Sambil melambaikan tangan, Ajeng berseru, “Terima kasih, sampai jumpa!”
“Gimana, Jeng? Kamu senang dengan perjalanan hari ini.”
“Iya, Bufi. Aku sangaaat senang.”
“Kalau gitu, kamu mau ke mana lagi?”
“Ke mana, ya? Aku ingin ke tempat yang nggak kalah seru.”
“Bersiap!” seru Bufi yang dibalas anggukan dari Ajeng.