Tarian Ajeng di Negeri Impian (Part. 8)

Bab 8

Mengenal Budaya Betawi

Semenjak kakinya cidera, Ajeng tak bisa ikut les tari untuk sementara. Oleh karena itu, setelah salat Zuhur dan makan siang, Ajeng terbiasa tidur siang. Apalagi setiap bermimpi akan bertemu Bufi, yang kemudian mengajaknya berkeliling ke Negeri Impian. Ajeng pun menjadi lebih bersemangat setelahnya.

Baru saja Ajeng merapal doa sebelum tidur dan hendak memejamkan mata, terdengar suara pintu kamarnya diketuk. Lalu, terlihat kepala Bunda yang melongok dari balik pintu.

“Kamu sudah tidur, Jeng?”

“Tadinya mau tidur, sih. Ada apa emangnya, Bun?”

Bunda masuk ke kamar Ajeng. Ditariknya kursi dekat meja belajar. Dia duduk di sebelah ranjang Ajeng.

“Boleh Bunda tanya sesuatu sama Ajeng?”

Ajeng mengangguk, lantas bangkit dan duduk bersila di atas ranjang.

“Bunda perhatiin, Ajeng sering senyum-senyum sendiri. Emang apa yang buat Ajeng bahagia, sih?” tanya Bunda dengan hati-hati. Tak ingin menyinggung perasaan Ajeng.

Sejenak Ajeng berpikir. Ingin sekali dia berkata jujur, tetapi takut Bunda tak percaya.

“Kalau Ajeng jujur, apa Bunda akan percaya?”

“Tentu, Bunda akan percaya.”

“Baiklah, sebenarnya ….” Ajeng menggantung ucapannya. Hatinya ragu.

“Sebenarnya apa, Jeng?”

Bunda memandang wajah Ajeng serius sambil menarik napas dalam. Ajeng pun mulai bercerita jika selama ini dia selalu bermimpi aneh. Mimpinya serasa nyata. Bahkan, Ajeng mengatakan bila dia bisa berbicara dengan kupu-kupu ajaib dari Negeri Impian.

Mendengar itu, Bunda menyipitkan mata, tak paham dengan maksud penuturan Ajeng.

“Bunda masih belum paham, Jeng.”

“Pokoknya, kupu-kupu itu akan menjadi anak perempuan seumuran Ajeng saat ada di dalam mimpi. Tapi dia akan berubah jadi kupu-kupu bersayap biru ungu, kalau di dunia nyata, Bun.”

Bukannya percaya, Bunda justru terbahak.

“Ini pasti karena kamu sering nonton animasi peri-perian. Apa itu namanya? Tink Tink ….” Bunda menggaruk pelipisnya seraya berpikir.

“Tinker Bell?”

“Iya, itu.” Bunda menjentikkan jarinya.

“Ya sudah, kalau Bunda nggak percaya. Ajeng mau tidur,” ucapnya kesal sambil mengerucutkan bibir.

Bunda yang paham jika Ajeng sedang sebal, memilih ke luar kamar. Sepeninggalnya Bunda, Ajeng menggerutu sendiri di dalam kamar. Tiba-tiba, Bufi dalam wujud kupu-kupu menghampiri.

“Kamu kenapa, Jeng? Kenapa marah-marah sendiri?”

“Aku sedang kesal. Masa Bunda tidak percaya, kalau kamu itu ada, Bufi.”

“Ya, karena Bunda belum mengenalku,” jawab Bufi.

Kupu-kupu itu mengepak-ngepakkan sayapnya dan terbang ke sana kemari.

Ajeng kemudian terbersit ide. “Gimana kalau kamu kenalan sama Bunda? Biar Bunda percaya.”

“Belum saatnya, Jeng. Nanti … pasti aku akan menunjukkan diri di depan Bunda.”

“Nantinya kapan?” rengek Ajeng.

“Kita jalan-jalan lagi aja, yuk. Biar kesalmu hilang,” ajak Bufi.

“Baiklah, tapi kita akan ke mana?”

“Rahasia,” bisik Bufi lalu terkekeh-kekeh sendiri.

Tanpa diminta, Ajeng sudah mulai memejamkan mata. Bufi pun langsung berputar-putar di atas kepala Ajeng. Serbuk keemasan keluar dari sayap Bufi. Secepat kilat, Ajeng dan Bufi sudah berada di Negeri Impian.

“Buka matamu, Ajeng. Kita sudah sampai,” bisik Bufi di telinga Ajeng.

Seketika Ajeng membuka mata dan menatap sekitar. Sebuah panggung pementasan ada di depannya. Kini Ajeng sedang duduk di tengah-tengah kursi penonton.

“Kita di mana, Bufi?”

“Nanti kamu akan tahu, kalau sudah melihat tarian ini. Karena tarian ini sangat populer di acara televisi.”

Ajeng mengerutkan dahi. Dia jadi makin tak sabar menunggu acara dimulai. Saat musik mulai diperdengarkan, dengan mudah Ajeng bisa menebak.

“Ini musik tanjidor khas Betawi. Kita akan melihat Tari Yapong, ya?” tebak Ajeng dan dijawab anggukan Bufi.

“Aku juga bilang apa? Kamu pasti tahu.”

Musik pengiring tari yang bukan hanya dari Betawi, tetapi campuran antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, mulai ditabuh. Penari yang berjumlah delapan perempuan pun, mulai berbaris sejajar di panggung. Gema tepuk tangan dari para penonton turut terdengar.

Sambil menyaksikan pertunjukan, seperti biasa Bufi melontarkan pertanyaan, juga sekaligus jawabannya.

“Jeng, kamu tahu nggak siapa pencipta Tari Yapong.”

“Tahu dong! Dia seorang seniman yang bernama Bagong Kussudiardjo.”

“Kok, bisa tahu, sih?”

Ajeng cekikikan ketika melihat Bufi cemberut.

“Aku, kan, suka membaca dan menonton acara televisi yang berfaedah. Sekarang, gantian aku yang nanya. Kenapa tari ini dinamakan Tari Yapong?”

Bufi mengetuk-ngetuk jarinya di kepala. Sambil berpikir, ia menggeleng tanda menyerah. “Kenapa emang?”

“Kok, tumben kamu nggak tahu, Bufi?”

Bufi tersenyum malu, kali ini pengetahuannya kalah dari Ajeng yang pintar menari dan berwawasan luas tentang budaya Indonesia.

“Yapong, lahir dari bunyi ‘ya ya ya ya ya’ yang dinyanyikan pengiringnya, Bufi. Sedangkan ‘pong pong pong’ berasal dari suara musik yang mirip suara itu sendiri. Dengar, deh,” pinta Ajeng.

“Iya, benar. Kamu benar-benar pintar, Ajeng. Kamu cocok jadi duta pariwisata,” puji Bufi.

“Aamiin.” Ajeng menengadahkan tangan dan mengusapkan ke wajah.

Sesekali tepuk tangan penonton terdengar riuh, membuat Ajeng kembali fokus menyaksikan Tari Yapong. Tari yang sekilas mirip dengan Tari Jaipong dari Jawa Barat itu, memiliki gerakan gembira yang dinamis.

Gerakan gembira itu sendiri menunjukkan kegembiraan atas kemenangan Pangeran Jayakarta, yang menjadi pahlawan bagi orang Betawi.

“Aku suka dengan motif dan warna pakaian penarinya, Bufi.”

“Iya, cerah. Motif pakaian penarinya mirip seperti Tari Kembang Topeng Betawi, ya, Jeng.”

“Kelihatan miripnya itu, dari penutup kepala dan selendang dada yang disebut toka-toka, kan, Bufi.”

Bufi mengangguk dan menerangkan, jika Tari Yapong yang lahir menjadi tari tradisional Betawi, ternyata mendapat pengaruh oleh unsur kesenian Tionghoa. Itu terlihat dari kain penarinya yang terdapat motif naga dengan warna merah menyala.

“Pantas, mirip yang dipakai dalam serial kungfu,” balas Ajeng.

Setelah selesai menyaksikan Tari Yapong dan membahas tentang sejarahnya dengan Bufi, mereka jalan-jalan ke Tugu Monumen Nasional sambil makan kerak telor, makanan khas Betawi yang sangat populer, dan ditemani es selendang mayang.

Saat menyeruput es selendang mayang yang manis gurih dengan isian kue kenyal, Ajeng menjadi penasaran dengan namanya.

“Ini, kenapa dinamakan es selendang mayang, sih, Bufi? Apa yang jual namanya Mbak Mayang? Tapi, tadi yang jual mas-mas, deh.”

Sontak Bufi terbahak mendengar perkataan Ajeng yang lucu.

“Apa yang lucu?” tanya Ajeng lagi.

“Lagian kamu suka banget ngelawak, Jeng. Ini dinamakan es selendang mayang, bukan karena nama penjualnya Mbak Mayang. Tapi karena isi kuenya yang berwarna-warni kayak selendang, Jeng.”

Bufi mencubit hidung Ajeng yang bangir dengan gemas.

“Aduh! Sakit tahu.”

“Udah, yuk. Kita pulang. Eh, kita lanjut petualangannya aja. Kamu mau yang lebih seru, ‘kan?”

“Mau mau mau!” seru Ajeng bersemangat.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar