Timbangan Baru Mama

Tadi siang ada paket datang. Isinya timbangan. Bukannya senang, wajah Mama terlihat cemas. Saya penasaran dengan isinya.

Mama membuka kardus paketnya perlahan. Wah! Isinya timbangan! Timbangan itu berbentuk persegi. Tidak ada jarum sebagai penanda. Hanya ada monitor kecil sebagai penunjuk berat. Canggih!

Namun, Mama tidak senang. Tersenyum pun tidak.

“Kenapa dibeli kalau Mama tidak suka?” Saya bertanya.

Mama tidak menjawab, hanya meminta saya mencobanya. Saya hanya perlu berdiri di atas timbangan itu, dan Walaaaaaa! muncul angka berat badan saya. Melihat angka itu, Mama mendesah, sedih.

“Kenapa, Mama?”

“Kamu terlalu kurus,” katanya memandang saya lalu kepalanya menunduk, melihat tubuhnya sendiri.

Mama juga punya timbangan lain. Timbangan kecil untuk menimbang tepung, gula dan bahan lain jika hendak membuat kue. Namun, sekarang timbangan itu berubah fungsi. Mama menimbang nasi, menimbang ayam rebus, menimbang biskuit…. Mama menimbang apa saja yang hendak dimakannya.

“Kenapa ditimbang, Ma?” Saya bertanya.

“Mama sedang diet.”

Saya menautkan alis. Mama tidak gemuk. Wajah Mama memang bulat, tetapi pipinya tidak gembil. Dagu Mama juga masih satu, belum berlipat seperti Om Haris yang memang gendut.

Hari-hari berikutnya masakan Mama jadi berubah, bertambah banyak jenisnya.

“Ini, untuk Papa dan kamu. Yang ini untuk Mama.” Mama menunjuk rebusan labu, pisang, kentang dan sayur-sayur lain.

“Ayam goreng, sayur lodeh, kerupuk udang. Mama nggak mau?”

“Untuk sementara, nggak dulu,” jawab Mama.

Sekarang, Mama bangun lebih pagi. Pergi ke pasar memakai sepatu kets. “Lari sebentar sebelum belanja,” kata Mama ketika aku terbangun.

Timbangan digital Mama makin sering diinjak. Kadang Mama bersorak, kadang mendesah dengan wajah muram.

Karena penasaran, aku ikut makan menu khusus untuk Mama. Huek! Rasanya hambar. Tidak asin, tidak manis, tidak gurih.

Mama tertawa. “Untuk yang masih di masa pertumbuhan, makan makanan bervariasi.”

“Memangnya Mama ada di masa apa?” tanya saya.

Mama diam sebelum menjawab. “Masa pemeliharaan.”

Saya garuk-garuk kepala, tidak mengerti.

Mama juga jadi sering menutup pintu. “Menghindar dari godaan.” Begitu alasannya. Saya baru paham ketika Abang tukang somai, mie ayam, juga tukang bakso jadi sering berlama-lama di depan rumah kami. Biasanya, Mama selalu memanggil mereka. Kali ini, mereka yang memanggil-manggil Mama.

Tak pelak, saya jadi tersiksa. Mama tidak mau membelikan. “Nanti Mama kepingin kalau lihat kamu makan.”

Saya merengut. Beli siomai, mie ayam, dan bakso, mana cukup pakai uang jajan saya. Mama juga tidak mau menaikkannya.

Lama-lama saya terbiasa ikut makan dengan menu makanan Mama yang baru. Tidak ada lagi nasi goreng untuk sarapan, Mama menggantinya dengan telur dan kentang rebus ditambah sosis panggang. Ajaibnya, begitu saja saya sudah kenyang.

Saya tetap membawa bekal. Nasi, sayur dan beragam protein berganti-ganti ditambah buah yang sekarang selalu tersedia di kulkas kami.

Hari demi hari Mama semakin semringah. Menaiki timbangan dengan senyum lebar. Mama juga memberi kabar gembira. “Tiap akhir pekan Mama bisa jajan.”

Wah! Betapa senangnya. Saya pasti diajak, kan?

Piza, burger, ayam goreng, ramen, bisa saya makan. Ditambah satu lagi makanan baru favorit Mama. Sushi!

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar