Yang tumbang itu bukan Pohon

Namaku Julia Nur Putri Rajabi. Gadis kecil namun dengan begitu banyak keinginan dan harapan besar. Seolah baru kemarin rasanya aku memakai seragam putih merah untuk mengenyam bangku pendidikan, sekarang sudah berubah menjadi masa akhir putih biru. Mengingat kembali masa putih merah rasanya banyak hal yang kulupakan dan satu hal yang masih ku ingat yakni salah satu temanku yang dua setengah tahun ini tidak saling bersua.

Minggu Pagi menjadi sedikit mencekam, Ibu membangunkan ku setengah berteriak, sinar surya kian menusuk ke dalam melewati jendela diiringi suara merdu dari gerutu ibuku.

“Mau sampai kapan jadi putri tidur? kalah sama ayam yang sudah bangun dan nyari makan. Ayo cepat bangun katanya mau pergi jalan jalan sama temanmu” kata ibuku

“Iya ibu komandan …”

aku secepatnya beranjak dari tempat tidur karena tidak mau menambah kesal ibuku. Wajar ibu kesal, semalam aku memintanya untuk membangunkan ku di pagi hari agar aku tidak telat untuk bertemu temanku Gisel. Gisel adalah temanku sedari kecil yang baru kembali lagi ke kampung. Ayahnya bekerja di Jakarta sehingga ia harus ikut bersama ayahnya pindah bermukim dan melanjutkan pendidikan di sana. Rencananya aku dan Gisel akan pergi berbelanja dan berwisata kuliner di Chingu Cafe pelopor kafe khas Korea di Bandung yang tentunya menawarkan sensasi kuliner ala Negeri Ginseng menu khas korea, alunan musik K-Pop, dan dekorasi ala Korea. Tak sabar aku menunggu hari ini, sudah lama ingin mengobati rasa rindu pada sahabat kecil ku dengan bercerita membahas hal hal aneh mulai dari kenapa bumi itu bulat, apakah piramida dibuat dengan bantuan makhluk asing, mencari kebenaran tentang fakta bahwa Atlantis adalah sebuah daerah di Indonesia dan hal lain yang jarang dibicarakan oleh anak anak seusia kami. Aneh! tapi itulah ke polosan kami yang masih ku ingat. Senyum mengembang dari bibirku. Meski masih diselimuti rasa dingin yang menusuk ke tulang aku tetap menguatkan diri mengguyurkan air dingin ke seluruh tubuhku. Secepat mungkin aku bergegas untuk mengambil baju yang telah ku persiapkan dari malam. Ku kenakan dan ku lihat dari cermin besar di kamar ku, dalam hati aku berkata;

“siapakah gadis tercantik di muka bumi wahai cermin ajaib? tentulah aku jawabannya.” senyum di bibirku kembali merekah.

“Masyallah cantik nya anak ibu.” Kata ibu yang mengagetkan lamunanku.

“hehehe, siapa dulu dong ibunya … ibu Esih.” canda ku.

“Tunggu, kerudungnya agak miring sini ibu benarkan.”

“Sipaling Perfeksionis, deh ibuku ini . . . sayang banget sama ibu. Minta uang jajannya dong bundahara”

“kalau ada maunya mulai deh puja puji sana sini sambil manggil bundahara, sepuluh ribu cukup?”

“yah, ibu jajan seblak aja abis kalu sepuh ribu mah”

“bercanda . . . . Yaudah nih ibu kasih. Tapi, inget selama nanti di sana jaga diri kamu. Kalau udah langsung pulang, jangan lupa HP nya selalu dinyalakan, laporan tiap se jam sekali . . .”

“siap Ibu Komanda . . .” sebari ku julurkan tangan pamit kepada ibu.

Ibu memang seperti itu orangnya. Sangat perhatian dengan anaknya, apalagi sama anak bungsunya ini, sangat dijaga! Sangat sulit untuk meminta ijin pergi kepada ibu. Untungnya pertemuan dengan Gisel dan ijin diberikan karena ibu sudah kenal betul dengan nya. Dulu ibu seorang Ketua Osis ketika di sekolah, ayah Gisel adalah adik kelas sekaligus partner ibu dalam organisasi Osis sehingga sudah sangat kenal ibu kepada ayah Gisel. Ayah Gisel menikah dengan teman ibu. Ibu adalah orang yang paling berjasa diantara ayah dan ibu gisel karena ibu berperan sebagai mak comblang keduanya sampai menikah. Sayang, menginjak umur Gisel ke 5 taun ibunya meninggal, Gisel hanya tinggal bersama ayahnya. Ayahnya memutuskan untuk tidak menikah lagi. Kesetian itu bernama pa Nandang ayah Gisel. Meski ditinggalkan oleh ibu nya Gisel adalah orang paling ceria bijaksana dan kritis yang ku kenal. Bagaimana tidak, dulu sewaktu di bangku sekolah dasar dia pernah bertanya yang membuat seisi ruangan termasuk wali kelas kami harus memutar otak untuk menjawab pertanyaan nya.

” Maaf pa, gisel mau tanya. di bumi ini kecepatan cahaya adalah yang tercepat. tapi kan sebelum cahaya berarti terlebih dahulu ada kegelapan. pertanyaan Gisel apakah kegelapan lebih cepat dari pada cahaya?”

Aneh betul pertanyaannya, tapi itulah Gisel selalu ada hal hal baru dan kritis yang menjadi ciri khasnya. Biar ku tebak dipertemuan kami nanti, ia pasti akan bertanya mengenai hal hal yang tengah hangat di perbincangkan lalu ia tanyakan kepada ku berbagai pertanyaan yang membuat kemampuan otak ku tidak sampai.

Setelah selesai berpakaian aku berencana mengajak Gisel terlebih dahulu ke rumahnya. Namun, betapa kagetnya Gisel ternyata telah lebih dulu tiba ia sudah menunggu di depan halaman rumah dengan senyum manis yang menyeramkan layaknya badut di Film It atau senyum Joaquin Phoenix ketika memerankan joker. Pelukan langsung diberikan olehnya kepada tubuh mungilku, tak ada yang banyak berubah darinya penampilan seorang muslimah yang anggun tetap menjadi pegangannya. Masih ku lihat sebuah cincin hitam bertuliskan kalimah syahadat di jari kiri manisnya. Cincin itu milik ibunya yang senantiasa ia pakai untuk sesekali mengingat kala rindu pada sang ibu.

“Juju . . . Masyaallah tambah cantik aja kamu” Ucapnya sebari memeluk ku

Juju adalah nama kecil ku. ku peluk balik tubuhnya untuk melepas kerinduan sebari berkata

“Bisa aja kamu. Tetap yang paling cantik dan solehah itu kan bu ustadjah Gigi”

Gigi sebutan kecil dariku untuknya. cukup lama kami saling berpelukan hingga lupa waktu sudah menunjukan pukul 09.00. Kami berdua kaget dan sesegera mungkin berlari menuju jalan raya untuk menunggu kedatangan angkot. kami berencana menggunakan angkutan umum untuk pergi ke Bandung. Perjalanan pertama dari rumah, kami akan menggunakan angkot jurusan Cijapati – Cicalengka menuju stasiun Cicalengka. Sesampainya di stasiun kami berencana membeli tiket menuju Bandung dan melanjutkan perjalanan berjalan kaki menuju Braga, alun – alun, dan museum di Bandung hingga terakhir bersantai di Chingu Cafe.

Pada langkah pertama kami, aku sudah merasakan hal yang aneh. langit yang awalnya cerah tiba tiba membawa kabar seolah akan turun hujan. Karena takut dengan hal buruk yang akan terjadi kami pun sesegera mungkin mempercepat langkah kaki berharap hujan tak menghalangi perjalanan yang sudah direncanakan jauh jauh hari. Langit masih menampilkan warna hitamnya, rintik hujan sudah mulai mengikuti arah gravitasi dan turun kebumi. untungnya angkot yang kami tunggu sudah tiba, tanpa berpikir lama kami pun masuk kedalamnya dan berharap keadaan akan lekas membaik setalah kami sampai di stasiun

angkot pun berjalan menyusuri jalan raya cijapati – cicalengka. Kini hujan mengguyur dengan deras, petir menyambar saling bersahut sahutan, saling berganti cahaya dan suaranya. Dalam angkot terdapat lima orang, satu orang supir, dan empat penumpang dengan dua diantaranya adalah kami. Salah seorang penumpang mengambil sebatang rokok dari saku depan bajunya, dinyalakanlah rokok tersebut dengan pemantik api yang sudah digenggam di tangan kanan. Asap mengepul hingga kursi paling belakang dan membuat kami merasa tidak nyaman. Bukan gigi kalau tak protes dengan hal yang melanggar hukum dan menggangu kenyamanan orang lain. Sewaktu ayahnya merokok di angkot Gigi pernah menegurnya dengan sumber hukum yang jelas.

“Ayah, Menurut Pasal 199 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa barang siapa yang merokok di tempat umum, akan dikenai sanksi pidana penjara 6 bulan serta denda sebesar Rp 50 juta.” Ucap Gigi

sesegera mungkin ayahnya langsung memandamkan rokok tersebut.

Kejadian yang sama terulang sekarang. Seorang penumpang menyalakan rokoknya di sebuah tempat umum, ku lihat tatapan Gigi penuh dengan hasrat ingin membunuh, mulutnya mulai terbuka ceramah akan segera berlangsung selama waktu yang tidak ditentukan.

“Maaf pa, saya punya asma. Boleh enggak kalau rokoknya di matikan? ini pun demi kenyamanan bersama”

Sang perokok untungnya langsung menuruti ceramah dari Gigi, untung saja kalau pun tidak pasti Gigi akan berceramah terus menerus sampai perokok tersebut mau bertaubat.

perjalanan masih berlanjut hujan sudah mulai mereda meskipun angin masih bertiup dengan cepat. Gigi dan aku tengah asik mengobrol. ditengah keasikan kami mengobrol, kami di kejutkan dengan sebuah rem mendadak dari supir angkot.

“Brukkk….ruk”

Suara pohon terjatuh 10 menter di depan kami. Keadaan langsung ramai dengan orang orang di luar yang melihat pohon tumbang mengenai beberapa pengendara. Kami panik dan bingung melihat kejadian tersebut. Tidak berani kami untuk turun dan melihat korban yang tertimpa. Namun, Kepanikan kami kini berubah dengan rasa marah. bukannya menolong langsung, orang orang malah asik berfoto mengabadikan momen tersebut.

Handphone pintar memang yang mereka pegang tapi tidak dengan empati mereka. Gigi dan aku yang merasa kesel kemudian berteriak dalam angkot

“Pa, itu ada korban tolong dibantu, jangan di foto dulu”

untungnya masih ada beberapa orang pengendara motor di belakang angkot yang mendengar teriakan kami dan secepat mungkin menolong. kami mulai merasa tenang meski panik masih ada dalam diri. Ini semua menjadi hari yang tidak terlupakan dan membuat kami berpikir ulang untuk melanjutkan perjalanan. Akses jalan sudah terputus dan pastinya perlu beberapa waktu untuk memulihkan keadaan. kami bisa melewati sela pohon tersebut dan berganti untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, melihat korban yang terkena musibah tersebut hati kami merasa tidak nyaman jika harus meneruskan perjalanan.

akhirnya kami pun memutuskan untuk pergi dan pulang kembali kerumah. diperjalanan Gigi berkata.

“Kamu lihat kan tadi apa yang tumbang ?” Tanya Gigi

“Iya pohon, kenapa emang? ” jawab ku

“kamu salah. yang tadi tumbang bukan pohon, tapi empati orang orang yang melihat kejadian tapi malah asik untuk mengabadikan keadaan. seharusnya mereka sadar bahwa nyawa lebih penting dibanding foto foto semata. Untung tidak semua orang yang empatinya tumbang.”

Mendengar ucapan Gigi aku semakin sadar betapa bijak dan kritisnya ia. banyak hal yang aku pelajari dari setiap tingkah laku dan perkataan gigi. Kami mengakhiri perjalanan kami dengan kembali kerumah ku untuk sekedar menonton dan masak mie menghabiskan detik detik hari berganti.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar