Pencarian Vesivatoa [Part 19 : MATA AIR TERLARANG]

Adora muncul dengan wajah sedih di pintu pagar rumah Alana. Keempat temannya sudah menunggu di sana.

“Maaf, teman-teman … misiku membujuk Wira tidak berhasil,” ujar Adora murung.

“Tak apa-apa … kita akan mencarinya bersama-sama, dengan bantuan gelang detektor ini,” hibur Ghazi. Tampangnya terlihat bijak sekali. “Mungkin akan memakan waktu lebih lama, tapi tak ada salahnya dicoba.”

“Betul! Aku juga sudah membawa persediaan makanan yang banyak!” seru Kalma antusias.

Kelima anak itu bersiap-siap untuk berangkat ke hutan Dolla. Semua perlengkapan yang dibutuhkan sudah berjejal dalam ransel mereka. Mulai dari makanan, kompas, obat-obatan, senter, hingga pisau lipat, semua ada.

“Bismillah … ayo kita berangkat!” seru Ghazi lantang. Kali ini dia yang memimpin petualangan penting tersebut.

Mereka berjalan menyusuri jalur yang kemarin ditunjukkan oleh Wira. Di setiap persimpangan jalan, Nabiella mengikat dahan pohon dengan pita, sebagai penanda. Sesekali Ghazi mengecek gelangnya, siapa tahu sudah terlihat tanda-tanda keberadaan ​vesivatoa​ di dekat mereka.

“Sepertinya kita hampir sampai,” seru Nabiella. “Ini kan tempat kita bertemu ular kemarin,” ujarnya pada Adora.

Ghazi, Alana, dan Kalma tentu saja kaget mendengar kata-kata Nabiella. Adora baru teringat kalau ia belum menceritakan tentang ular itu pada teman-temannya.

Dari kejauhan, rumpun-rumpun pohon bambu sudah mulai terlihat. Suara gemerisik daun bambu yang tertiup angin terdengar halus. Adora segera mengajak teman-temannya menuju ke tempat ia terjatuh kemarin. Di sanalah gelangnya mulai terlihat berkedip. Anak-anak berjalan ke tempat itu dengan penuh semangat.

Samar-samar tampak seseorang sedang berdiri di dekat tanaman perdu berduri. Sosok laki-laki kurus, tinggi, rambut keriting, dan berkulit cokelat gelap.

“Wira?” Adora mengerutkan keningnya, sama sekali tak menyangka. “Kenapa kamu ada di sini?”

“Oh … aku cuma ingin membantu temanku yang sedang berusaha menyelamatkan temannya,” jawab Wira datar, sambil menjejalkan kedua tangannya ke dalam kantung celana kargonya.

Adora tersenyum lebar, lalu melompat memeluk Nabiella saking senangnya. Nabiella limbung, tak siap menerima berat badan Adora yang tiba-tiba menghambur padanya. Wira pun tersenyum melihat tingkah kedua anak itu.

 

***

Sambil berjalan Ghazi menceritakan misi mereka yang sebenarnya pada Wira. Awalnya Wira tak percaya. Namun, melihat gelang kelima anak itu, yang desainnya sangat futuristik, akhirnya Wira mencoba untuk menerima cerita mereka, meskipun tak masuk akal. Apalagi ketika melihat Ghazi menekan tombol outdoor suit y​ang mengeluarkan kostum stormtrooper dari gelang itu. Wira benar-benar merasa seperti sedang bermimpi.

“Lihat, gelang kita berkedip semakin cepat!” seru Ghazi. “jangan-jangan Vesivatoa ​tersimpan di mata air itu?”

Di ujung jalan tampak mulut gua kecil. Terdengar suara gemuruh air di dalamnya. Persis seperti suara air terjun yang bergema. Wira berhenti di samping gua yang gelap itu.

“Kalian yakin mau masuk?” tanyanya ragu. Ia menyorotkan cahaya senter ke dalam. Sekilas tampak stalaktit dan stalakmit dengan ujung yang runcing, mengkilat-kilat terkena cahaya senter.

“Kita sudah tiba di sini, tidak ada pilihan lain,” ujar Ghazi mantap.

Anak-anak mengangguk serempak, meskipun dalam hati merasa gentar. Mereka tidak tahu bahaya apa yang akan menanti di dalam.

Merekapun masuk bersama-sama. Masing-masing memegang senter. Satu, dua, tiga langkah, tidak ada yang terjadi. Hanya terdengar suara air yang sangat memekakkan telinga. Tepat di langkah ke empat, mereka merasa kehilangan pijakan.

“Waaa …!” teriak anak-anak itu serempak. Tiba-tiba tubuh mereka terasa seperti melayang di udara. Anak-anak terjeblos ke dalam lubang gelap yang tidak tau di mana dasarnya.

BRUKK!

Setelah beberapa detik, mereka terjatuh tepat di atas tumpukan jerami yang bergulung-gulung. Tempat itu tidak terlalu gelap, ada sedikit cahaya matahari yang masuk dari celah-celah dinding papan yang mengelilingi ruang sempit itu.

Wira mengarahkan senter ke sekelilingnya. Tepat di sebelahnya, Adora tampak sedang membersihkan pakaiannya dari jerami.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Wira khawatir.

Anak perempuan itu hanya mengangguk. Anak-anak yang lain pun berusaha bangkit dan keluar dari tumpukan jerami itu.

“Untung saja kita jatuh di atas jerami,” ungkap Wira. “Kalau tidak, mungkin tulang-tulangku sudah remuk.”

Ghazi memeriksa ke sekeliling ruangan. Tampaknya mereka berada di dalam sebuah gudang penyimpanan. Perlahan mereka mendekati pintu kayu besar, lalu membuka grendelnya yang sudah berkarat.

Wira mengintip ke luar, cahaya matahari masuk menyilaukan mata. Di luar tampak kendaraan berat sedang mengangkut gelondongan kayu besar-besar. Tak jauh dari sana, ada lapangan luas yang penuh dengan tunggul-tunggul pohon yang baru saja ditebang.

“Ini tempat penebangan hutan!” teriak Wira tertahan. “Aku tidak pernah tahu di Hutan Dolla ada tempat seperti ini.”

“Aku rasa kita sudah tidak berada di negeri Dolla lagi,” ujar Ghazi sambil melihat gelangnya. “Menurut koordinat yang tertulis di sini, kemungkinan kita berada di daratan Eropa.”

“Eropa?!”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar