ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 13)

KEGELISAHAN WARGA PIJIOMBO

 

 

 

Desa Pijiombo gempar!

Kehebohan itu bermula dari rumah Jilan. Karena sampai jam 4 lebih Jilan belum pulang maka bapak dan ibunya jadi cemas tak karuan. Mereka mondar-mandir di halaman rumah sambil menatap jalan mendaki yang menuju ke area perkebunan. Kiranya cukup beralasan jika kekawatiran datang menyerang mereka. Semua orang tahu Jilan adalah anak yang penurut. Jilan juga rajin membantu pekerjaan ibunya. Karena itu meskipun sedang asyik bermain bila sudah jam 4, Jilan pasti akan segera pulang untuk membantu ibunya menyapu rumah serta mencuci perabot kotor yang selesai digunakan.

Namun, sekarang sudah hampir jam 5. Sedang Jilan belum juga datang. Tentu saja hal itu membuat kedua orang tua Jilan jadi kepikiran yang bermacam. Mereka takut ada kejadian buruk telah menimpa anaknya. Terlebih selama dua bulan terakhir ini banyak kejadian hewan ternak milik warga hilang dimangsa harimau hutan. Hal itu membuat kedua orang tua Jilan semakin ketakutan.

Dengan mata berkaca-kaca karena menahan tangis yang hendak tumpah, berulangkali ibunya Jilan melongok ke ujung jalan tak beraspal yang menanjak dan berbatu-batu. Besar harapannya semoga Jilan segera terlihat berjalan menuju rumah. Namun, harapan itu sepertinya hanya sia-sia. Jilan belum juga tampak batang hidungnya. Beberapa warga yang pulang kerja dari perkebunan coba ditanyai, tapi tak satu pun yang mengetahui di mana Jilan kini.

Begitu juga para pencari rumput dan penggembala ternak. Semua yang lewat depan rumah mereka tanyai, tapi semua juga tak mengerti keberadaan Jilan saat ini. Bapak dan ibunya Jilan semakin sedih.

“Bune, coba tanyakan ke Komah siapa tahu Komah mengerti ke mana Jilan sekarang. Komah kan satu kelas sama Jilan dan mereka juga sering bermain bersama,” kata Pak Anto menyuruh istrinya yang sudah hampir menangis.

“Sudah Pakne, aku tadi sudah tanya ke Komah, tapi dia tidak tahu di mana Jilan berada,” sahut Bu Etik sambil menahan tangisnya.

“Memangnya tadi siapa yang mengajak Jilan keluar dari rumah?”

“Ega, Pakne. Tadi Ega yang mengajaknya.”

“Lalu apa Bune sudah bertanya pada Ega?”

“Sudah tapi sampai sekarang Ega juga belum pulang.”

Pak Anto semakin resah. Terlebih saat dilihatnya matahari sudah hampir tenggelam. Benak orang tua itu jadi membayangkan yang bukan-bukan. Orang tua mana yang tak akan jadi gundah jika anaknya sampai tertimpa musibah.

Tepat ketika beberapa tetangga mulai datang untuk menawarkan bantuan, terlihatlah Adib sedang melangkah pelan di tepian jalan. Tangannya memegang sebuah layang-layang serta gulungan benang. Adib memang bukan anak warga Pijiombo. Orang tuanya warga desa Genjong yang ada di sebelah timur dari desa Pijiombo ini. Kedua desa itu hanya terpisah oleh sebuah sungai kecil saja.

Adib juga tidak bersekolah di SDN Pijiombo. Ia bersekolah di SD Negeri Sengon. Namun demikian setiap hari ia bermain di desa Pijiombo. Maka tak heran hampir semua warga Pijiombo beserta anak-anaknya mengenal Adib.

Melihat wajah-wajah cemas yang berkerumun di depan rumah Jilan, serta merta Adib berhenti dan menghampiri Bu Etik.

“Selamat sore semuanya. Apa bapak dan ibu semua sedang mencari Jilan sekarang?” tanya Adib pelan, tapi mampu membuat semua orang yang ada tercengang. Hingga mereka lupa belum menjawab salam yang Adib ucapkan.

“Iya Dib, benar. Memangnya kau tahu di mana Jilan sekarang?” sahut Bu Etik penuh harap. Harapan agar anaknya segera diketahui keberadaannya.

“Tadi siang sewaktu saya bermain layang-layang, saya lihat Jilan ikut Panjul dan Ega menuju ke bukit sana,” jawab Adib sambil menunjuk bukit kedua yang tampak dari tempatnya.

“Kau yakin yang kau lihat itu benar, Jilan?” desak Pak Anto sekedar memastikan.

Dengan mantap Adib mengangguk.

“Saya yakin Pak Anto, tapi ….” Adib sengaja menggantung kalimatnya seakan ia sedang berusaha mengingat sesuatu yang sempat terlupa.

“Tapi apa, Dib?” Bu Etik merasa penasaran jadinya.

“Iya Dib, katakanlah!” Pak Anto demikian juga.

Sejenak Adib menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Setelah mengerutkan dahi sejenak barulah ia menjawab.

“Tapi tadi sewaktu saya mengejar laying-layang sampai ke bukit itu, saya tidak melihat Jilan, Panjul, atau Ega. Yang saya ketemukan hanya dua keranjang penuh rumput milik Panjul dan Ega. Saya tak tahu mereka lagi di mana,”

Mendengar perkataan Adib itu, semua orang jadi saling pandang. Semua orang tahu bahwa bukit yang ditunjuk Adib itu sudah berbatasan langsung dengan perkebunan Sirah Kencong dan hutan. Suara auman harimau yang menggidikkan serta merta terngiang kembali. Mendatangkan rasa takut dan membuat nyali menciut.

“Oh … Pakne … bagaimana Jilan, Pakne …?” ratap Bu Etik seketika tersimpuh di tepi jalan. Wanita mungil itu sudah tak sanggup lagi menahan tumpahnya air mata. Tanpa memedulikan orang-orang yang menatapnya dengan rasa iba, Bu Etik menangis sesenggukan sambil memanggil-manggil nama anaknya.

“Oh … Jilan … di mana kau … Jilan …? Pulanglah … Jilan … pulanglah ….”

Suasana sedih yang diwarnai suara isak tangis itu semakin menyayat jiwa siapa saja yang mendengarnya saat orang tua Panjul dan Ega datang juga ke rumah itu. Ibunya Panjul dan ibunya Ega juga menangis pilu meratapi nasip anaknya yang belum mereka tahu.

Atas inisiatip seorang warga, mereka akhirnya berkumpul di depan Loji untuk membicarakan langkah apa yang harus ditempuh guna menemukan ketiga anak itu. Sebab jika yang mereka dengar dari Adib itu benar, berarti nyawa ketiga anak itu sedang terancam.

Oya, yang disebut Loji itu adalah rumah peninggalan Belanda. Dulu saat pabrik kopi di desa Pijiombo masih berproduksi, Loji itu menjadi rumah singgah bagi para pejabat Belanda yang sedang mengontrol jalannya perusahaan pengolahan kopi di sana.

Dalam sekejap semua warga berkumpul untuk menentukan tindakan sebelum hari semakin gelap karena datangnya malam.

“Panjul …!”

“Jilan …!”

“Ega …!”

Suara panggilan dan tangisan yang beradu membuat suasana semakin nampak sendu. Sedang Adib pulang dengan langkah tenang.

Suasana semakin gelap. Deretan lampu penerangan jalan yang mengambil sumber energy listrik dari sebuah turbin swasembada warga, tak mampu memberi penerangan secara sempurna. Cahayanya redup. Maklum, sebagai suatu daerah yang berada di pegunungan wilayah Pijiombo sering diterpa kabut tebal di malam hari.

Dengan penerangan sesadanya, warga berkumpul di rumah Jilan guna mencari solusi terhadap permasalahan yang sedang di hadapi. Mereka semua mengkawatirkan keadaan Jilan, Ega, dan Panjul yang sampai saat ini belum juga pulang.

Berita tentang kemunculan harimau hutan yang sering mencuri ternak warga semakin membuat hatiku warga Pijiombo cemas. Mereka takut ketiga anak Pijiombo itu sampai tersesat di hutan.

Kegelisahan warga Pijiombo semakin mencekam,

                                                       

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar