ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 25)

TANGISAN KEHARUAN 

 

 

 

Panjul dan Jilan masih duduk di atas punggung Kris yang terus berusaha meronta-ronta ketika polisi dan warga sampai di tempatnya berada. Lucunya kedatangan mereka justru dibarengi dengan kemunculan seekor kambing yang langsung berlari-lari dengan tali sepanjang dua meter masih terikat di lehernya.

“Panjuul!”

“Jilaaan!”

Serta merta Pak Anto menghambur dan memeluk anaknya yang masih terduduk di atas tubuh Kris. Malihat hal itu beberapa orang warga segera mengamankan Kris dan membawanya ke hadapan polisi. Dengan senyum puas polisi langsung memborgol Kris yang sebenarnya juga sudah dalam keadaan terikat.

“Syukurlah Jilan, kau tidak kenapa-napa,” ucap Pak Anto sambil mempererat pelukannya.

Jilan membalas pelukan bapaknya. Tanpa terasa air matanya menetes membasahi pipi. Hatinya begitu terharu bisa bertemu lagi dengan bapaknya setelah semalam berada di sarang komplotan pencuri yang cukup berbahaya.

Begitu pula Pak Anto. Matanya tampak mengerjap-ngerjap tanda sedang menahan jatuhnya air mata. Air mata yang tercipta akibat rasa terharu yang mendalam karena mendapati anaknya selamat dari marabahaya. Tangisan keharuan yang justru mendatangkan bahagia.

“Pak, bantu aku menangkap kambing itu dulu, Pak!” seru Panjul ketika ayahnya sudah bergegas menghampirinya. Panjul langsung bangkit dari duduknya dan langsung pula ikut mengejar kambing itu.

Serta merta sang ayah berhenti di tempatnya. Sesaat ia perhatikan kambing yang sedang dikejar-kejar oleh anaknya. Tanpa pikir panjang, ia pun segera membantu sang anak mengejar kambing itu.

Namun, kiranya kambing itu terlalu gesit untuk mereka. Sudah lebih dari tiga putaran kambing itu mengelilingi beberapa hewan ternak lain yang sudah terikat, tapi Panjul dan ayahnya belum juga berhasil menangkap kambing yang bikin susah itu.

Beberapa warga yang semula hanya melihat sambil geleng-geleng kepala, kini turun tangan, ikut pula melakukan pengejaran. Dengan semakin sempitnya ruang untuk berlari, tentu saja jadi semakin mudah kambing itu untuk ditangkap. Benar saja! Tak seberapa lama kemudian salah seorang warga berhasil mengjangkau tali pengikat leher kambing itu.

“Kena kau!” seru sang warga sedikit bangga.

Dengan senyum orang itu membawa si kambing pada Panjul yang masih berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah.

“Panjul, ini kambingnya,” kata orang itu.

“Terima kasih, Pak. Ikat saja kambing itu bersama hewan yang lainnya,” sahut Panjul sopan.

Sementara orang itu sedang mengikat si kambing yang telah berhasil ditangkapnya, Panjul perlahan menghampiri ayahnya.

“Maafkan Panjul ya Ayah, pasti seharian tadi Ayah dan Ibu cemas karena kelakuan Panjul ini,” kata Panjul menghambur dalam pelukan ayahnya.

“Tidak apa-apa Panjul yang penting sekarang kau sudah aman dan selamat,” sahut ayahnya sambil membelai kepala anaknya.

Sama seperti perasaan yang dirasakan oleh Pak Anto, hati ayah Panjul saat itu juga diliputi rasa terharu yang sangat dalam. Andai saja ia bukan seorang lelaki sudah pasti ia menitikkan air mata sedari tadi. Karena itu tangisan keharuannya cukup ia simpan di dalam hati. Hati yang bersyukur karena anaknya telah ditemukan dalam keadaan sehat wal afiat.

“Si Giras juga selamat, Yah. Ternyata selama ini kambingku itu juga ada di sini. Tidak dimangsa harimau seperti yang kita sangka. Bahkan si Giras juga yang tadi membantuku menangkap seorang penjahat yang tadi terikat di situ.” Panjul berkata dengan penuh rasa bangga.

“Terus di mana Giras sekarang?” tanya sang ayah seraya menatap lembut anaknya.

“Itu, Yah,’ jawab Panjul sambil menunjuk kambingnya yang ia ikat di sudut gua tempat mereka berada sekarang.

“Alhamdulilah, kambingmu gak jadi hilang, Panjul. Sebab kambing itu merupakan tabunganmu untuk masuk SMP nanti,” sambut si ayah sambil mengelus rambut anaknya.

“Iya Yah, alhamdulilah.”

Panjul dan ayahnya kembali berpelukan dengan erat seolah mereka baru saja berpisah dalam waktu yang sudah lama. Demikian juga Jilan dan bapaknya. Sepertinya mereka masih ingin menumpahkan tangisan keharuan yang sedang membuncah.

Melihat hal itu, seorang polisi segera berkata.

“Sudah Pak Anto dan Ayahnya Panjul, kami mohon sudahi dulu tangisan keharuannya. Nanti bisa dilanjutkan di rumah saja. Sekarang karena anak-anak sudah kita ketemukan dalam keadaan selamat, selanjutnya mari kita keluarkan ternak-ternak ini dari dalam gua. Hewan-hewan ini pasti merasa tidak nyaman setelah seminggu disekap di dalam gua yang gelap.”

“Itu betul Pak Polisi. Mari teman-teman kita keluarkan hewan-hewan ini!” sambut Pak Anto semangat.

“Iya mari!”

“Ayo!” sahut warga yang lainnya.

Secara gotong royong warga mulai menuntun keluar hewan-hewan ternak itu dengan senyum yang lebar.

Panjul dan Jilan juga tak mau ketinggalan. Mereka ikut juga melepaskan kambing-kambing itu. Sedang Jilan memegangi sebuah obor untuk memberikan penerangan jalan. Kedua anak itu merasa sangat bersyukur karena pertolongan datang tepat pada waktunya.

“Njul …,” panggil Jilan saat Panjul selesai melepas ikatan seekor kambing.

“Ada apa. Lan?”

“Baru sekarang aku tahu, ternyata kau seorang anak yang hebat. Keberanianmu luar biasa.” Jilan mengacungkan jempolnya.

“Kau juga hebat dan pemberani kok.” Panjul balas mengacungkan jempol kanannya.

“Kau pantas jadi seorang polisi jika besar nanti,” puji Jilan merasa bangga sekali.

“Jadi polisi memang cita-citaku, Lan.”

“Kalau begitu kau harus lebih rajin belajar agar tercapai keinginanmu itu.”

“Tentu saja dan kau juga harus belajar giat. Tapi omong-omong apa cita-citamu, Lan?”

“Aku ingin jadi guru seperti Bu Devi.”

“Wah, bagus itu. Guru kan pahlawan tanpa tanda jasa.”

Panjul dan Jilan tertawa bersama. Mereka tak menyangka jika karena musibah ini mereka jadi bisa lebih akrab dari biasanya. Pengalaman seru membuat persahabatan mereka lebih erat.

Sekarang tali kambing-kambing itu sudah dipegangi orang-orang. Masing-masing orang tali dua ekor kambing.

“Pak Polisi, semua kambing sudah kami pegangi talinya. Jadi apakah kita bisa keluar gua sekarang?” tanya seorang warga.

“Tunggu sebentar lagi, Pak,” sahut polisi itu.

“Menunggu apa lagi, Pak?”

“Kita menunggu petugas dan warga lain yang sedang menuju ke sini. Nanti kita keluar bersama-sama supaya lebih aman karena bisa saling mengawasi.”

“Oo … begitu. Baik, Pak.”

Polisi itu mengangguk sambil tersenyum. Lantas polisi itu menghubungi rekannya lewat radio komunikasi.

Sambil menunggu Pak Polisi yang sedang berbicara dengan rekannya, warga meneliti kambing-kambing di hadapan mereka. Mereka coba mengamati kambing milik siapa saja yang ada. Sebab dari laporan yang sudah masuk ke Kantor Desa, ada banyak laporan kehilangan ternak baik kambing maupun sapi.

Kehidupan warga yang guyub rukun memudahkan warga mengenali pemilik ternak-ternak itu. Meskipun sama-sama kambing, tapi warga dengan mudah dapat mengenali pemiliknya. Padahal tidak ada tanda ciri-ciri khususnya loh.

Sementara warga mengidentifikasi pemilik kambing-kambing itu, Panjul dan Jilan terhanyut dalam pelukan bapaknya dengan penuh rasa haru.

                                                          

 

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar