ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 26)

PERTEMUAN DI MULUT GUA

 

 

Pak Polisi dibantu oleh Pak Anto, mengecek warga yang sudah berkumpul di tempat mereka menunggu. Beberapa warga yang baru datang juga ada yang sambil menuntun kambing. Seorang lagi malah menuntun sapi. Sedang Panjul memegang erat-erat tali di leher si Giras ditemani oleh Jilan yang hanya mengelus-elus punggung kambing berbulu putih itu.

“Oya, Pak Kasman dan Pak Rusdi kok belum kelihatan ini. Ke mana mereka?” Pak Anto bertanya sambil mengedarkan pandangan pada semua warga.

“Mereka berdua langsung menuju pintu keluar gua, Pak,” sahut seorang warga.

“Iya Pak, mereka membawa sapi yang kondisinya sudah hampir lemas. Jadi harus segera diselamatkan,” sahut warga lainnya.

 “Baiklah jika demikian berarti semuanya sudah aman,” ujar Pak Anto dengan senyuman.

“Sekarang bagaimana rencana selanjutnya, Pak Polisi?” Ayahnya Jilan bertanya dengan sikap sopan.

“Jika demikian, sekarang ayo kita keluar gua. Supaya aman, kita harus tetap berjalan beriringan. Jangan sampai memisahkan diri,” instruksi Pak Polisi dengan suara berwibawa.

“Baiiik, Pak!” sahut mereka serempak.

Dengan hati-hati mereka mulai melangkah menyusuri lorong gua yang menuju ke pintu keluar di sisi selatan bukit. Mereka berjalan beriringan layaknya sebuah rombongan yang sedang melakukan pawai.

Tiga orang yang membawa obor berjalan paling depan. Dua orang polisi mengambil posisi paling belakang. Tujuannya untuk menerangi jalan dengan cahaya senter yang ada pada bagian depan helm yang dikenakannya.

Sementara itu Adib dan Ega yang menunggu bersama seorang polisi dan empat orang warga, matanya langsung berbinar cerah saat melihat sahabatnya muncul dari dalam gua,

“Panjuul!”

“Jilaaan!”

Adib dan Ega langsung berteriak girang begitu menyaksikan Panjul dan Jilan berjalan keluar dari dalam gua bersama beberapa polisi dan juga warga yang sedang menuntun hewan ternak. Ega langsung berlari menyongsong kehadiran Panjul dan Jilan seraya membentangkan kedua lengannya.

Mirip adegan film India saat mempertemukan dua sahabat karip, dengan senyum sumringah Panjul dan Jilan juga melakukan hal yang sama. Mereka berlari beriringan guna menghampiri Ega.

Sejenak mereka berpelukan. Saling melepaskan segenap rasa cemas yang sehari tadi mencekam perasaan. Mata ketiga bocah itupun nampak berkaca-kaca. Keharuan memenuhi hati mereka. Tangisan keharuan itu serta merta membuat suasana malam terasa semakin senyap. Semua orang yang menyaksikan hal itu tertunduk kelu seakan ikut larut dalam keharuan itu.

Serta merta Panjul melepaskan dirinya dari pelukan Jilan dan Ega ketika matanya tanpa sengaja melihat kehadiran Adib yang masih berdiri tenang di samping Komandan Polisi.

“Ada apa Panjul? Adakah suatu hal yang masih mengganggu pikiranmu?” tanya Ega sedikit bingung melihat sikap temannya itu.

“Iya Panjul, kenapa kau tampak terkejut seperti itu? Harusnya kita bergembira karena kita dan ternak warga sudah selamat,” ucap Jilan merasakan hal yang sama.

“Dia! Kenapa ada di sini?” tanya Panjul sinis seraya menunjuk Adib yang berukuran agak jumbo.

“Adib maksudmu?” balik tanya Ega.

“Ya,” ketus Panjul menjawab disertai anggukan kepala.

Belum lagi sempat Ega menjawab, Panjul sudah bergegas menghampiri Adib dengan langkah gusar.

“Belum puas ya kau meledekku kemarin itu, kok sekarang kamu ada pula di sini. Pasti kau juga akan meledekku lagi setelah melihat kejadian buruk yang kami alami seharian ini, iya kan?” damprat Panjul sudah hilang kendali.

Adib tak mampu bicara. Bocah bertubuh bongsor itu hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menatap Ega seakan minta perlindungan. Ega yang menyadari semua itu, segera pula menghampiri Panjul dan Adib guna meluruskan keadaan.

“Sabar Panjul, sabar. Adib ada di sini karena saya. Satu hal yang harus kau ketahui Njul, Adib mengejek kamu kemarin itu hanyalah bercanda. Adib tak bermaksud melukai hatimu. Bahkan hari ini Adib telah berjasa membantu kita,” kata Ega dengan wajah seriusnya.

“Membantu kita?” tanya Panjul sulit percaya.

Dengan mantap Ega menganggukkan kepala.

“Membantu apa?” Suara Panjul jelas terdengar kurang senangnya.

Sejenak Ega tersenyum, baru kemudian menjawab.

“Tadi sewaktu aku mencari bala bantuan tak ada seorang warga pun yang mau percaya dengan apa yang aku katakan. Tapi untunglah aku ketemu Adib dan ia langsung bersedia mengantarkan aku ke kantor polisi dengan sepeda kumbangnya. Demi menolongku itu dia sampai membolos mengaji hari ini.”

Ragu dengan perkataan Ega, Panjul menatap wajah Adib dengan pandangan yang masih kurang percaya.

“Apa benar begitu?” tanya Panjul entah ditujukan pada siapa.

Ega mengangguk sambil tersenyum. Begitu pula Adib, ia ikut tersenyum kecil.

“Semua itu benar, Njul,” kata Adib tanpa berani menatap wajah Panjul yang masih berdiri di hadapannya.

“Apa benar kau membantu kami dengan ikhlas? Bukan untuk mengejek dan mengolok aku lagi?” tanya Panjul dengan tatapan tajam.

Perlahan Adib menganggukkan kepala.

“Tentu saja Panjul, kalian semua kan teman-temanku juga walaupun kita beda sekolahan,” jawab Adib penuh ketulusan.

Hmm, Panjul tersenyum lebar. Seketika dipeluknya tubuh Adib yang bongsor itu sambil menepuk-nepuk pundak Adib dengan lembut.

“Kalau begitu maafkan aku ya, kalau tadi aku sempat meragukanmu,” kata Panjul dengan penuh rasa persahabatan.

“Sama-sama, aku juga minta maaf atas ejekanku kemarin,” sahut Adib seraya membalas pelukan Panjul.

Jilan dan Ega tersenyum riang melihat hal itu. Begitu juga sang komandan polisi dan anak buahnya. Mereka bangga melihat anak-anak hebat yang memiliki jiwa besar untuk saling minta maaf dan memaafkan. Bahkan beberapa warga juga tampak menahan tangisan keharuannya.

“Sudah anak-anak, sudahi tangisan keharuan kalian. Sekarang mari kita bawa ternak-ternak ini kembali ke kampung. Kita kembalikan ternak-ternak ini pada pemiliknya. Tapi nanti kami memerlukan satu ekor sapi dan dua ekor kambing untuk kami bawa ke kantor polisi sebagai barang bukti. Dan sewaktu-waktu kami juga memerlukan keterangan dan kesaksian dari sebagian warga,” kata komandan polisi bijak.

“Siap Pak!” sahut warga serempak.

Kemudian mereka berjalan beriringan menuruni bukit dengan menuntun hewan-hewan ternak. Aparat kepolisian mengawal perjalanan mereka dengan tertib. Usai sudah tangisan keharuan dan akan segera berganti dengan kebahagiaan.

Panjul, Ega, Jilan, dan Adib nebeng naik mobil polisi yang berjalan pelan mengawal perjalanan warga.

“Sekali lagi, terima kasih ya Dib atas bantuanmu. Seandainya tidak ada kau bisa jadi kami masih berada di dalam gua yang mengerikan itu,” kata Panjul di tengah perjalanan.

“Iya, aku juga berterima kasih padamu, Dib.” Jilan tak mau ketinggalan untuk mengucapkan terima kasihnya.

“Iya, sama-sama Njul, Lan. Aku justru merasa senang kok bisa membantu kalian. Kan jadinya aku bisa ikut merasakan petualangan yang seru ini.” Adib menjawab sambil tersenyum.

Jilan, Panjul, dan Ega membalas senyum sahabatnya itu. Pertemua di mulut gua membuat mereka bahagia.

 

 

 

Bersambung …

 

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar