#taliscerpen BERANI KABUR (Petualangan GeMush – Geng Mushola)

NENEK LIDAH TAJAM

“Abiiil, mana sandal saya? Awas ya!” Acip berteriak begitu selesai salat Asar. Segera saja musala kecil itu ribut, gara-gara Abil dan Acip bertingkah bagai kucing dan bebek. Bertengkar melulu. 

“Stop. Cip!” Tiba-tiba Abil berhenti berlari. Tak melewatkan kesempatan, Acip langsung merenggut sandal biru di tangan Abil. 

“Apaan setap setop? Bilang aja nyerah, berani-beraninya nantangin saya lari.”

“Lihat itu. May sama Ima kenapa?”

Acip melongok ke teras jamaah akhwat. May dan Ima saling memunggungi. Padahal, mereka biasanya akrab. Lalu, May malah pergi dengan air mata berderai. 

Acip dan Abil langsung menginterogasi Ima.

“May cengeng. Masa, gambarnya kubilang jelek aja nangis!” ketus Ita.

“Gambar apaan sih, sampe kamu bilang jelek?” Acip penasaran.

Ita tak menjawab. Sebenarnya, gambar May bagus. Tapi entah kenapa,  Ita kesal sekali melihatnya.

“Nggak ada gambar yang jelek, Im. Cuma beda gaya aja,” Abil mencoba bijaksana. 

“Ayo, kalian harus berbaikan sebelum malam,” ajak Acip. 

Dengan langkah berat, akhirnya Ita berdiri. Apalagi musala sudah sepi.

Namun, tiba-tiba May kembali. Matanya masih sembab. Tanpa menyapa, buru-buru ia kembali ke ruangan akhwat. Ternyata, May mengambil gambarnya yang tertinggal.

Dengan tergesa, May melewati teman-temannya. Namun, karena tak awas, May tersandung kaki Abil. Sementara Abil sedang berdiri berdempetan dengan Acip. Ita bahkan berdiri tepat di depan May.

Bruk!

Mereka berempat terjerembab di tanah kebun mini musala itu. Namun, tiba-tiba terdengar suara petir, mereka melihat kilat yang menyilaukan. 

Lalu gelap

Lalu tiba-tiba terang. Suasana berisik sekali. Setelah beberapa saat, mereka bisa melihat dengan jelas. Ada sebuah pasar di seberang. Orang-orang berlalu lalang. Tidak padat, tapi ramai. 

“Cip, kita dItana?” May kebingungan. Cuaca terasa panas sekali.

“Kayaknya … di tengah gurun.” 

May menoleh ke asal suara. Tidak ada apa-apa. May mencoba menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Ia mencoba menggoyangkan badannya, dan syuuut. Dia terjatuh.

“Kamu menimpsaya, May!” omel Acip.

“Kamu juga menimpsaya. Gelap tau! ” Abil protes.

May mulai paham. Sepertinya ia sekarang menjelma jadi 

pelepah kurma. Tadi ia merosot dari atap, Abil pastilah batu yang ia timpa, sementara Acip, entah dimana, jangan-jangan jadi pasir. May yakin, ia sedang bermimpi.

“Duh, jatuh lagi!” Seseorang mengambil May. Badan May melayang lalu diletakkan di atap. Setelah itu, ia pergi begitu saja. Tak lama, keluar seorang nenek dari bangunan di bawah May.

“Mana itu Muhammad! Huh, si tukang sihir bermulut manis itu harus saya beri pelajaran lagi hari ini!” 

Mereka terpana. Namun lebih kaget lagi saat mendengar suara Ita.

“Teman-teman, kalian di mana? saya di sini, di pergelangan tangan nenek cerewet ini!”  

Abil, Acip, dan May menatap gelang yang melingkar di lengan keriput si nenek. Nenek itu berkacak pinggang, sepertinya tak sabar menunggu seseorang datang.

Tiba-tiba, mereka merasakan angin dingin semilir. Acip dan Abil yang berada di darat, bisa merasakan sebuah langkah yang lembut. May dari atas bisa melihat sosok yang berjalan dengan gagah namun elegan. 

Andai bisa, Ita ingin menutup telinganya, karena nenek itu segera berteriak. “Hai, kamu orang gila, tukang tipu, tukang sihir, jangan bohongi orang-orang dengan agama palsumu itu!” suaranya lantang sampai terdengar semua orang. Sebagian orang yang melihat menatap kasihan. Sebagian lagi tersenyum sinis. 

Lelaki itu tentunya bisa menegur si nenek. Tubuhnya terlihat kuat. Namun ia tidak marah. Ia tesenyum sopan, lalu melanjutkan perjalanannya.

“Awas kau, ya. Kutunggu lagi kau di sini esok!” nenek itu berseru dengan sepenuh tenaga. Ia masuk kembali ke rumahnya dengan nafas terengah saking marahnya.

“Ta-tadi itu, apakah … Muhammad, Nabi kita?” Abil tiba-tiba gemetar.

Semua  terdiam. May hanya bisa melirik pasrah. Ia terpaksa harus mendengar lagi gerutuan nenek tentang seorang pria bernama Muhammad itu. “Duh, Nenek ini kayak nggak ada kerjaan aja!” desahnya.

Namun, keesokan harinya si nenek tidak keluar rumah. Abil, Acip, dan May dari tadi berusaha mengintip ke dalam. Setiap angin berhembus, Acip berusaha terbang setinggi mungkin, siapa tahu bisa menempel di lubang cahaya. May malah berusaha merosot lagi. Kalau Abil cuma bisa pasrah.

Sementara itu, Ita merasakan lengan nenek lebih hangat dari kemarin. Sejak pagi nenek itu hanya tidur di ranjangnya. Napasnya tak teratur. Sepertinya nenek itu sakit. Ita merasa iba, tak ada yang menemani si nenek.

Kembali terasa cuaca menjadi sejuk. Angin bertiup semilir. Lelaki itu muncul lagi. Abil heran. Kalau jadi orang itu, ia lebih baik memilih jalan lain. Saat sedang berpikir seperti itu, tiba-tiba ia merasa alas kaki lelaki itu memijaknya. Dengan lembut, ia mengetuk pintu rumah si nenek.

“Nek, saya membawa makanan. Boleh saya masuk?”

“Bicaramu sungguh sopan. Masuklah!” kata si Nenek dengan suara lemah.

Lelaki itu masuk. May berhasil merosot sedikit sehingga bisa melihat punggungnya. Ia tertegun. Dengan lembut lelaki itu menyuapi si nenek. 

“May, ada apa di sana? Apa lelaki itu diomeli lagi?” Abil berteriak dari bawah.

“saya hanya bisa melihat punggungnya! Tapi sepertinya dia tidak diomeli.”

Acip beruntung, dia bisa menempel di lubang angin. “Nenek itu menangis!” serunya. 

Akhirnya si lelaki itu keluar, nenek itu mengantarnya dengan tatapan lembut, “Maafkanlah perkataanku selama ini, Nak …” katanya dengan suara terisak. Lelaki itu mengangguk seraya berpamitan. Sayang, tak ada yang bisa melihat rupanya dengan jelas. 

Si Nenek  terdiam sambil terus menatap punggung lelaki itu hingga tak terlihat lagi. Lalu ia masuk ke rumahnya. Ia tak sadar gelangnya terjatuh tepat di atas Abil.

“May, apa yang terjadi di dalam?” Semua tak sabar.

Dengan suara sengau, May menceritakan bagaimana nenek itu akhirnya bersyahadat. Ia mengikuti agama lelaki itu. 

Semua takjub sampai tak bisa berkata-kata.

Namun sekonyong-konyong angin kencang bertiup. Acip terbang, menempel pada pelepah May. May pun meluncur menabrak Abil.

Semua kembali gelap.

Tiba-tiba, mereka di musala. Terjerembab di atas rumput. 

“Aduuuh, berat tau, Cip!” omel Abil

“Tulang kamu tuh, tajem!” Acip meringis kesakitan.

Tapi mereka lalu terdiam melihat May dan Ita berpelukan,

“Maaf ya May, kata-katsaya buruk sekali. Gambarmu bagus.Tadi hatiku iri, ingin bisa menggambar seperti kamu,” Ita terisak. 

May tersenyum, memeluk Ita erat.

Abil tersenyum. “Pasti Ita nggak mau jadi kayak si nenek pengomel itu.”

“Nenek yang tinggal di dekat pasar?” Acip terperangah. Ia kira kisah tadi hanya lamunannya saja.

“Lho, kamu tadi jadi pasir?” Abil bertanya balik. 

“Kamu jadi batu? May, kamu jadi pelepah kurma? Ita, kamu…” Acip memastikan semuanya.

“A-saya jadi gelang si nenek… “

Lagi-lagi mereka semua ternganga.

 

BERANI KABUR

Abil, May, dan Acip asyik petak umpet di musala.Tiba-tiba, Ita datang terengah-engah.

“Sssst!” katanya sambil berlari ke toilet.

Kemudian, datang segerombolan anak perempuan berseragam SMP. Badan mereka besar-besar, wajahnya bengis. Tiga sekawan itu segera berakting. May menghitung, Abil dan Acip pura-pura sembunyi. Syukurlah, mereka segera berlalu.

“Ta, aman!” May mengetuk pintu. Ita keluar takut-takut.

“Kok jago silat malah ngumpet kayak siput? Takut yaa,” ledek Abil

Saat Ita akan mendekati Abil, kakinya tergelincir. May mau membantu, tapi malah ikut terpeleset. Kaki May menendang Acip, membuatnya terjengkang dan menabrak Abil. Semuanya kini merebah tak jelas di lantai tempat wudu. 

Lalu tiba-tiba gelap,

tiba-tiba terang lagi. 

Rasanya mereka kenal cuaca ini. 

“Friends, kalian dimana?” Abil berteriak. Ia merasa badannya terus bergoyang. Sekitarnya silau, namun ia sendiri merasa sejuk. Ada bayangan mendekat, sebuah benda lunak dan panjang terjulur. Badannya bergoyang lagi. Abil akhirnya sadar, ia sekarang jadi air minum onta.

“Bil, saya di atas sini! Ah, bosan, lagi-lagi jadi pasir. Kapan sih onta ini bersin, capek dari tadi nongkrong di hidungnya!” rengut Acip.

Abil melongok ke atas, lalu tertawa terbahak-bahak. “Kamu bukan jadi pasir, tapi jadi upil!” katanya setelah melihat kotoran tergantung di rongga hidung onta.

“Heeee?” Acip meringis, apa ini gara-gara tangannya sedang membersihkan hidung saat terjatuh tadi?

“Yang lain mana?” Abil melongok dari celah-celah wadah. 

Tiba-tiba tubuh Abil bergetar. Ternyata ada dua orang berlari melewatinya. Si onta menoleh sehingga Acip bisa melihatnya. Tubuh lelaki yang lebih dewasa penuh luka dan kotoran. Di belakang, puluhan orang mengejar.

“Jangan lempar saya!” terdengar suara nyaring Ita  dari dalam genggaman seorang anak yang ikut mengejar lelaki itu. 

Syukurlah, seseorang berseru, “Sudah! Tinggalkan orang gila itu. Lebih baik kita bekerja lagi!” 

Rombongan pun bubar. Anak kecil tadi melempar batunya ke udara dengan kesal. 

Lelaki itu terus berlari hingga sampai ke perkebunan. Pemuda yang menemaninya menyusul. Acip bisa melihat May, ia tersangkut di sela-sela jubah si pemuda. 

“Yah, kita nggak bisa lihat kemana mereka …” Acip kecewa.

Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Si Onta meringkik terkejut. Pemiliknya segera datang. Mereka berdua berdoa semoga Allah mengijinkan mereka menyaksikan kisah lelaki tadi.

Pemilik onta menciduk Abil, memasukkannya ke dalam ember. Ia menarik tali kekang unta, lalu menuntun mereka pergi. 

May bisa merasakan degup jantung pemuda itu memburu. Ia mengikuti sang lelaki masuk ke perkebunan. Lelaki itu akhirnya bersandar kelelahan di salah satu pohon. Si Pemuda duduk tak jauh darinya. Tubuhnya juga penuh luka, namun matanya tetap awas memperhatikan sekitar. 

“Alhamdulillah, kita bisa melihat mereka, Bil. Lelaki itu kelihatannya baik-baik saja,” Acip berseru dari atas. Onta itu dipindahkan ke dekat perkebunan. Walau agak jauh, mereka masih bisa melihat kedua lelaki itu.

“Duh, kasihan.” Abil berharap tidak jadi benda mati. Andai jadi onta saja, ia akan menendang orang-orang kejam itu. 

“Abil, Acip! Kalian di mana?” suara May terdengar dari kejauhan.

“Abil jadi air, saya … ehem, saya  jadi mucus yang terdehidrasi!” Acip memberat-beratkan suaranya agar terdengar berwibawa. 

“Mucus terdehidrasi itu apa?” 

“Upil, May! Acip jadi upil onta!” Abil berteriak gemas. May spontan tertawa. Sementara Acip ingin meluncur ke ember, memiting  Abil. 

“Kamu dimana, May?” tanya Acip, mengalihkan pembicaraan segera.

“Di bawah sini,” suara May berubah murung.

Acip meneliti ke bawah. Ada tetesan darah. “Kamu jadi darah May?”

May mulai terisak. “Iya, Ya Allah, sedih sekali melihat lelaki baik itu terluka dilempari batu dan kotoran.”

“Tahu dari mana dia orang baik, May? Barangkali saja dia memang pengganggu!” 

“Hus! Dia bahkan tak mengatakan satupun kalimat keluhan apalagi kutukan. Dia cuma berdzikir, Bil. Dan kudengar orang-orang itu memanggilnya Muhammad.” 

Abil dan Acip tak bisa berkata-kata. Tanpa saling bicara, mereka segera teringat kejadian di rumah nenek lidah tajam tempo hari. Mereka mulai percaya ini bukan mimpi, tapi apa?

“Lihat, ada apa di sana?” seberkas cahaya yang terang tiba-tiba menyinari kebun. Lelaki itu terlihat berbicara, tapi entah dengan siapa.

Kemudian seorang laki-laki datang. Dari perawakannya yang kekar, sepertinya ia pekerja kebun. “Ia membawakan air!” seru Abil yang bisa mengintip dari sela-sela ember.

“Alhamdulillah!” Acip dan May ikut merasa lega. 

“Pekerja itu  menangis!” Abil melapor lagi.

“Rasanya saya pernah baca cerita seperti ini … ” May mengingat-ingat.

“Mereka menuju ke sini!” Abil sangat ingin melihat wajah mereka, tapi gagal. 

Si pekerja memastikan keadaan aman, sebelum melepas kedua lelaki itu pergi. Ita yang berada dalam jubah menggelinding saat si pemuda berjalan. Syukurlah, ia jatuh tepat di sebelah May. Sadar sudah di tengah kawan-kawannya, Ita mulai menyerocos.

“Kalian tak akan percaya ini. Saya mendengar lelaki itu mendoakan orang-orang yang tadi melemparinya. Sebelumnya ia bilang tak mau meminta azab bagi mereka.”

“Apa itu terjadi saat ada sinar besar?”  selidik May. “Jangan-jangan itu malaikat penjaga gunung, kalian ingat tidak kisahnya?”

“Masyaallah, malaikat yang menawari untuk menjatuhkan gunung kepada orang-orang Thaif itu?” 

“Tetapi, kenapa pekerja tadi mau membawakan air?”

“Dia disuruh majikannya. Di negeri ini, barangsiapa masuk ke wilayah seseorang untuk minta perlindungan, akan dilindungi. Setelah bercakap-cakap dengan lelaki sabar itu, si pekerja malah masuk Islam.”

Mereka menatap kagum dua lelaki yang semakin jauh itu. Walau terluka, langkah mereka tegar. Pastilah karena mereka yakin ada dalam kebenaran. 

Tiba-tiba, angin kencang bertiup. Si Onta mendadak bersin. Acip pun terlempar ke dalam ember air. Ember itu juga ikut terguling. Air membasahi batu dan sisa darah kering yang menempel di pasir. 

Tiba-tiba semua gelap. 

“Hei, ngapain pada tiarap? main perang-perangan?” Bang Oni, marbot masjid, sedang berkacak pinggang sambil memegang pel. 

“Bukan tiarap, kita jatoh, Bang,” seru Ita.. 

“Tadi saya mau dipalak sama anak-anak SMP. Ada yang bawa pentungan lagi. Serem. Saya kabur aja!” 

“Maaf ya, saya ngeledekin kamu penakut. Padahal, kalau tak imbang, kabur lebih selamat!” sesal Abil.

“Ooh, anak-anak SMP tadi. Mereka baru ditangkap polisi. Ada yang merekam mereka lagi membully lalu viral!” bang Oni bercerita dengan prihatin, “Alhamdulillah Neng Ita selamat!”

“Iya Bang, alhamdulillah.”

“Kalau ketemu lagi, Bang Oni balas buat Neng Ita!”

“Makasih Bang. Kalau mereka mengancam lagi, pasti Ita balas. Tapi, karena mereka sekarang sudah ditangkap polisi, Ita mau ngedoain aja, semoga mereka taubat. Siapa tahu, mereka jadi anak baik.” 

“Masyaallah …  seperti lelaki tadi ya, Ta?” May tersenyum, Ita mengangguk. Abil dan Acip ikut tersenyum.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar