#TalisCerpen Ketika Saya Mengasuh Adik

Ketika Saya Mengasuh Adik

Karya: Titin Mulyaningsih

Angin sore ini terasa dingin. Padahal siang tadi udara sangat panas. Saya duduk-duduk di teras sambil memainkan ponsel.

“Yim, umi mau pergi arisan dulu, ya,” pamit ibu saya. “Tolong temani adik, umi tidak lama kok,” kata ibu saya sambil berlalu.

Saya segera beranjak menuju kamar ibu saya. Adik saya yang masih berumur 3 tahun terlihat nyenyak tidur. Memang biasa begitu. Setelah mandi, makan, langsung tidur.

Saya duduk bersandar di tempat tidur, tepat di samping adik saya tidur. Saya kembali memainkan ponsel.

“Ha, rakyat Palestina diserang bom oleh Israel!” saya membaca berita di ponsel dengan lebih cermat. Hati saya merasa sedih saat tahu banyak korban anak-anak yang tewas. Mereka anak-anak yang lucu dan tidak berdosa, harus ikut menanggung derita akibat perang.

Saya melihat gambar anak-anak yang menjadi korban perang. Tidak terasa air mata saya menetes. Wajah-wajah kecil seusia adik saya.

Saya menatap adik saya yang sedang tidur. Wajah adik saya bulat, pipinya gembul, sungguh lucu sekali.

“Mi.., mi…!” rengekan adik saya membuyarkan lamunan saya.

“Sini, adik sama kakak dulu, ya,” saya segera meraih lalu menggendongnya. Saya mengajak adik keluar kamar. Saya dan adik saya menuju ke teras. Saya memberinya mainan.

Adik saya tidak mau. Adik saya tetap saja mencari ibu saya. Saya mencoba membujuknya dengan mainan yang lain. Saya juga mencoba mengajaknya bernyanyi, namun usaha saya sia-sia. Dan, sekarang adik saya menangis. Aduh, saya semakin bingung.

“Ah, lihat ini saja, ya, Dik!” saya mengulurkan ponsel. Di layar ponsel tampak animasi lucu dan musik lagu anak-anak. Dan, ajaib, adik saya langsung terdiam. Saya mendampingi adik menonton tayangan dari youtube.com itu.

Saya teringat pesan ibu saya, bahwa adik belum boleh terpapar layar ponsel terlalu lama. Setelah beberapa lagu selesai, saya menyimpan ponsel itu kembali. Tetapi yang terjadi malah adik saya menangis. Adik saya tetap meminta ponsel saya.

Saya kebingungan. Akhirnya, adik saya ajak keluar menuju taman. Beberapa tetangga saya menyapa dan bertanya, mengapa adik saya menangis. Saya merasa sangat malu.

Tangis adik saya mulai mereda. Taman sudah terlihat. Saya mengajak adik bermain ayunan. Adik saya terlihat senang sekali. Adik saya tertawa riang. Saya merasa lega.

Teot…, teot…, teot…! Penjual balon datang. Adik saya senang melihat balon warna-warni. Adik saya menarik tangan saya supaya mendekati penjual balon.

“Oh, tidak!” saya bingung. Saya menggendong adik saya dan pergi menghindari penjual balon itu. Adik saya kembali menangis. Saya pun ingin menangis rasanya. Saya tidak membawa uang untuk membeli balon itu. Adik saya juga tidak mengerti penjelasan yang saya berikan. Adik saya tetap saja menangis minta dibelikan balon.

Sekarang, adik saya tidak hanya menangis, tetapi juga meronta-ronta minta diturunkan. Saya menggendongnya erat-erat. Saya berusaha bertahan supaya adik saya tidak jatuh. Akhirnya, saya memutuskan membawa adik saya pulang.

“Ayim, Fafa!” panggil ibu saya dari kejauhan. Setengah berlalri, saya menyongsong Ibu saya. Adik saya megulurkan tangannya pada ibu saya. Ibu saya menerima dan segera menggendong adik saya.

“Alon…, alon…!” adik saya menunjuk penjual balon di kejauhan.

“Adik mau balon? Ayuk, pulang dulu, sudah mau magrib,” kata ibu saya sambil mencium pipi adik saya. Dan, ajaib, adik saya mengangguk.

“Adik, kalau sama Umi, gampang dikasih tahu,” saya bersungut-sungut. Ibu saya hanya tersenyum sambil mengelus pipi saya.

“Terima kasih, ya, Kakak Ayim, sudah menemani adik bermain,” kata ibu saya sambil tertawa.

“Iya, adik dibilangin ga nurut,” saya terus mengadu.

“Kakak Ayim harus sabar dengan adik kecil,” lanjut ibu saya.

Ibu saya mengajak ke toko untuk membeli es krim. Ah, senangnya hati saya mendapat hadiah sebungkus es krim cokelat kesukaan saya. Walau adik saya seperti itu, tapi saya sayang sekali pada adik saya.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar