(Cerita Rakyat dari Banten, diceritakan kembali oleh: Esti Asmalia)
Tersebutlah seorang saudagar kaya raya di tanah Banten. Ia memiliki tanah pertanian yang luas dengan ratusan hewan ternak. Bahkan, simpanan uang dan emasnya tak terhitung banyaknya.
Sayangnya, saudagar itu terkenal sangat pelit dan sombong. Ia tak pernah mau membagi hartanya pada siapa pun. Sepeserpun tidak. Jika tetangganya terkena musibah, ia pura-pura tidak tahu agar tidak dimintai pertolongan. Ia hanya peduli pada harta dan dirinya sendiri. Tak heran jika banyak orang yang tidak menyukai saudagar itu.
Suatu hari, seorang pengemis mendatangi rumah saudagar tersebut. Pakaiannya lusuh dan bertambal di sana-sini. Tubuhnya kurus kering karena berhari-hari tidak makan. Dengan penuh harap, ia mengetuk pintu rumah Sang Saudagar.
“Mohon sedikit kemurahan hati, Tuan. Sesendok nasi atau sepotong roti pun tak mengapa. Hamba sungguh lapar karena belum makan berhari-hari,” pinta pengemis itu. Ia berharap saudagar kaya tersebut mau memberinya sedikit makanan.
“Enak saja minta-minta!” bentak Sang Saudagar.
“Tuan sangat kaya, tapi begitu pelit. Bahkan membagi sepotong roti pun tidak mau. Kelak Tuhan akan membalas perbuatan Tuan,” kata Pengemis itu.
“Tidak usah menasehatiku. Lekas pergi sana!”
Dengan langkah gontai, pengemis itu pergi meninggalkan rumah Sang Saudagar.
Beberapa hari kemudian, Sang Saudagar terserang demam tinggi. Seluruh tubuhnya tidak bisa bergerak. Tabib-tabib terbaik dari seluruh negeri sudah dipanggil. Tapi tak ada yang bisa menyembuhkannya. Ia pun menggelar sayembara dan menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mampu mengobati penyakitnya.
Berita sayembara tersebut akhirnya didengar oleh pengemis yang pernah diusir oleh Sang Saudagar. Ia mendatangi Saudagar tersebut.
“Penyakit yang Tuan derita saat ini adalah teguran dari Tuhan. Jika Tuan ingin sembuh, Tuan harus mengerjakan tiga hal. Pertama, Tuan harus menghilangkan sifat pelit dan sombong. Kedua, Tuan harus bertapa dan berpuasa di atas batu cekung yang terdapat di Gunung Karang selama tujuh hari tujuh malam. Ketiga, Tuan harus membagi separuh harta yang Tuan miliki kepada seluruh penduduk negeri,” katanya panjang lebar.
Selesai mengatakan hal tersebut, Pengemis itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Sang Saudagar tersadar kalau pengemis yang pernah diusirnya itu ternyata bukan orang sembarangan.
Awalnya, Sang Saudagar tidak percaya. Namun, demi kesembuhannya, Sang Saudagar akhirnya mengikuti kata-kata Si Pengemis. Ia meminta beberapa orang pengawal untuk membawanya ke batu cekung di Gunung Karang dengan tandu. Di sana, Saudagar itu bertapa dan berpuasa. Ia memohon ampun pada Tuhan atas sikap buruknya selama ini. Ia juga berdoa memohon kesembuhan atas penyakitnya.
Pada hari ke tujuh, batu cekung itu mengeluarkan air panas. Makin lama air panas yang keluar semakin banyak. Tubuh saudagar itu basah kuyup terkena semburan air panas.
Sungguh ajaib! Setelah terkena air panas itu, perlahan-lahan Sang Saudagar bisa menggerakkan tubuhnya. Ia bahkan bisa melompat-lompat. Hatinya girang bukan kepalang. Ia mengucap syukur dan bersujud berulang kali pada Tuhan.
Saudagar itu akhirnya kembali ke rumah untuk menepati janjinya. Separuh hartanya dibagikan pada penduduk miskin di seluruh negeri. Ia berubah menjadi saudagar yang ramah dan dermawan.
Cerita tentang batu cekung yang mengeluarkan air panas itu akhirnya tersebar. Banyak orang yang tertarik membuktikan kebenaran cerita tersebut. Tempat itu akhirnya dikenal dengan nama Mata Air Panas Batu Kuwung, yang artinya batu cekung. Konon, mata air panas tersebut bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dan menjadi tujuan wisata.