Legenda Marijuanga

Alkisah, di pulau yang terpencil di pedalaman hutan Gunung Sali hiduplah keluarga kecil yang terdiri atas satu orang perempuan dan dua orang laki-laki. Kedua orang tua mereka telah tiada setelah mereka beranjak dewasa. Pakaian mereka compang-camping. Mereka bertiga sering kekurangan makanan karena menanti panen hasil kebun. Tidak makan dua atau tiga hari atau seminggu adalah hal yang biasa bagi mereka bertiga. Mata pencaharian mereka adalah melaut dan berkebun.

“Semoga hari ini tidak sama dengan hari esok dan mudah-mudahan ikan di hari ini tangkapannya lebih banyak dari hari kemarin,” tutur kakak laki-laki pertama.

Mereka berharap, jikalau hasil tangkapannya banyak, mereka dapat menukamya dengan garam, beras, serta keperluan pokok mereka sehari-hari. Pada pagi hari yang sama, adik perempuan yang bungsu pergi ke kebun untuk melihat ubi dan ketela yang ditanam pada berapa bulan yang lalu. Sang gadis berharap agar ubi dan ketela yang ditanam dapat memberikan hasil yang banyak. Perlengkapan yang dibawa ke kebun adalah peda (parang) dan seloi (keranjang).

Setibanya di kebun, ia pergi menuju rumah panggung yang dibuatnya. Waktu berjalan serasa makin cepat. Matahari pun memberi tanda bahwa waktu siang telah tiba. Udara pun makin panas, tetapi angin bertiup amat kencang. Rasa kantuk yang menyerang gadis ini tiada dapat ditahannya lagi. Rasa kantuk dan capek ikut menyerangnya. Oleh karena itu, tanpa sadar ia pun tergeletak dan terlelap di atas lantai kayu. Sementara itu, suara kokok beberapa ayam jantan yang diasuhnya terdengar nyaring bersahut-sahutan. Dengan riang ayam-ayam jantan itu seolah-olah menyambut datangnya matahari siang. Sang gadis pun terbangun dan terkejut bukan kepalang, setelah mendengar kokok ayam jantan.

“Hmm, segar sekali,” gumam gadis cantik itu sambil mengusap wajahnya dengan air yang berada di dalam ember. Setelah itu, ia pun bangun. Lalu mengambil parang dan keranjang. Sambil melihat cerahnya matahari siang yang menghiasi tanaman yang ditanamnya, ia bergegas melangkahkan kaki menuju tanaman pohon ubi dan ketela. Mulutnya berkomat-kamit memohon kepada Tuhan agar ubi dan ketela yang ditanamnya dapat memberi hasil yang sangat banyak. Tampak raut wajah gadis cantik ini berubah segar ketika melihat umbi dan ketela berbuah lebat dan gemuk. Senandung alunan bait-bait kata pun tak henti-hentinya ia ucapkan.

“Syukur alhamdulillah,” ucapnya sebagai rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah swt.

“Nah, aku harus segera mengambil hasil ubi dan ketela ini untuk makan malam.”

Dengan semangat tinggi, ia pun langsung mengambil ubi dan ketela yang dimasukkan ke dalam keranjang. Tanpa menunggu lebih lama, gadis ini pun berjalan meninggalkan halaman kebun dan menuju ke arah utara untuk melihat seruas bambu yang merupakan sebuah tempat beradu di siang hari. Dengan sangat berhati-hati, ia pun merangkak naik di atas batang pohon kelapa dan memotong salah satu seruas pohon bambu itu. Kemudian ia membelah bambu tersebut. Tiba-tiba bambu yang dibelah tadi mengeluarkan darah dan di dalamnya terdapat dua butir telur ayam.

“Ya Allah,” ucapnya spontan dan dilanjutkan dengan alunan zikir.

“Astagfirullah”.

“Apakah … apakah saya tidak sedang bermimpi? Mengapa tiba-tiba ada darah dan ada dua butir telur ayam di dalam bambu ini? Siapa yang menyimpannya?”

Gadis tersebut benar-benar takjub.

“Ya Allah. Engkau sungguh Maha Bijaksana dan Pemurah kepada hamba-Mu,” puji sang gadis sambil menengadahkan kedua tangannya di atas bambu yang dibelahnya.

Matanya berkaca-kaca. Mulutnya pun berkomat-kamit tiada hentinya menyebut kebesaran Tuhan.

“Kalau memang ini adalah titipan rezeki untuk hamba-Mu, maka akan saya bawa pulang telur ayam ini.”

Dengan gerakan yang cepat, ia langsung menyimpan telur tersebut di dalam baju yang dipakainya. Gadis cantik ini pun meninggalkan halaman kebun menuju jalan pulang ke rumahnya. Tidak terasa ia pun tiba di rumahnya.

Setelah sampai di rumah, dikupaslah ubi dan ketela. Setelah dikupas, kemudian dicuci. Setelah itu, baru dimasaknya. Sambil menyiapkan makanan yang akan dimakan pada malam nanti, tidak terasa ubi dan ketela yang direbus tadi sudah matang. Setelah berapa bulan, ketiga bersaudara ini berkumpul sambil bercerita tentang kehidupan keluarga kecil mereka. Dengan rasa kekeluargaan yang membanggakan dan membahagiakan, saudara perempuan mereka lalu menceritakan apa yang didapatkannya di kebun pada beberapa bulan yang silam.

“Kakanda, berapa bulan yang lalu saya memberanikan diri pergi ke kebun sendirian. Tujuannya adalah untuk mengambil ketela dan ubi yang telah kita tanam bertiga. Setelah saya menyiapkan ubi dan ketela di dalam keranjang, saya langsung pergi menuju seruas bambu yang ada di dekat areal kebun kita. Dengan rasa ingin tahu, saya langsung memotong salah satu pohon bam bu. Tiba-tiba bambu itu mengeluarkan darah. Anehnya lagi ada dua butir telur ayam di dalam bambu tersebut. Langsung dengan cepat saya simpan di dalam baju yang saya pakai. Hanya saja saya sudah lupa dan tidak terpikirkan lagi dengan apa yang sudah saya alami pada waktu itu.”

Mendengar penuturan itu, kedua saudara laki-laki pun merasa kaget dan heran atas apa yang dialami adiknya. Tanpa menunggu waktu, mereka berdua langsung hendak memeriksa telur yang disimpan di dalam baju yang dipakai adiknya. Temyata dua butir telur ayam tersebut sudah raib secara gaib.  Mereka bertiga melupakan kejadian yang diceritakan oleh adik perempuannya, terutama tentang telur dari dalam seruas bambu.

Setelah berapa bulan telur tersebut raib, gadis cantik itu pun hamil. Kedua saudara laki-lakinya heran. Kakak laki-laki pertamanya langsung dengan nada tegas memanggil adik perempuannya.

“Adinda!”

“Ya,” jawab adiknya singkat.

Tampaknya ia takut dengan peristiwa yang dialaminya. Dengan langkah gontai adik perempuan kesayangan mereka pun menuju kedua saudara laki-lakinya.

“Ada apa, Kakanda? Mengapa Kakanda memanggil Adinda dengan nada yang tegas?”

“Kakanda ingin tahu, siapa yang menghamili adinda?”

Adiknya hanya dapat menjawab dengan cerita tentang apa yang telah didapatinya di kebun pada beberapa bulan silam. Setelah kedua saudara laki-laki ini kembali mendengarkan cerita adiknya, mereka tidak percaya dengan keajaiban itu. Karena menurut logika mereka, tidak mungkin adik perempuannya hamil melalui raibnya telur ajaib tersebut.

Timbullah kecurigaan di antara kedua bersaudara laki-laki ini. Suasana keluarga yang sebelumnya diterangi cahaya kebahagiaan, tiba-tiba berubah menjadi saling menuduh dan mengakibatkan perkelahian antara kakak beradik. Karena merasa malu, kecewa, dan tidak sanggup memikul tanggung jawab dalam hal melindungi adik perempuan mereka, keduanya berkelahi dari rumah hingga lautan. Rasa kasih sayang dalam keharmonisan keluarga pun hilang dalam sekejap ditelan emosi dan lumuran darah. Keduanya berkelahi dengan sangat sengit. Hingga sejauh itu belum tampak siapa yang lebih unggul di antara keduanya. Karena tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, di tempat perkelahian di lautan itu kedua bersaudara tersebut ingin mengakhirinya dengan bersumpah. Mereka berdua bersepakat bahwa tanggung jawab yang diamanahkan kepada mereka berdua sebagai kaum laki-laki untuk menjaga saudara perempuannya yang masih gadis, telah gagal. Mereka pun memberanikan diri untuk melawan tantangan hidup yang ditakdirkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Kakak laki-laki pertama berdiri dan bersumpah,

“Kalau memang betul bukan saya yang menghamili adik kita, izinkanlah saya untuk berubah menjadi batu.”

Ajaib. Sumpah yang diucapkan dengan lantang itu langsung terkabul. Berubahlah ia menjadi batu besar. Melihat kakak laki-laki pertama telah berubah menjadi batu, dan itu berarti ia tidak bersalah, kakak laki-laki kedua pun merasa bersalah. Padahal, ia juga bukan pelaku yang membuat adik perempuannya menanggung aib. Maka ia pun niatkan untuk bersumpah seperti kakaknya, berdiri di depan batu besar penjelmaan kakaknya.

“Kalau betul bukan saya juga yang menghamili saudara perempuan kami, maka izinkanlah saya berubah menjadi batu seperti kakak saya.”

Pada waktu yang bersamaan dengan selesainya kalimat terakhir sumpahnya, ia pun berubah menjadi batu kecil. Batu kecil dan batu besar itu pun berdiri saling berhadapan. Tempatnya di bagian utara Desa Koititi, Kecamatan Gane Barat.

Setelah kedua kakaknya berubah menjadi batu kecil dan batu besar, adik perempuan yang hamil tanpa diketahui siapa yang menghamilinya itu pun tidak sanggup menghadapi kenyataan. Perasaan bingung itu semakin kuat setelah kedua saudaranya tiada. Ia pun merasa malu dan bersedih. Maka, dengan segera ia pun naik ke atas perahu yang biasa dipakai oleh kedua saudaranya melaut. Setelah itu, langsung ia mendayung ke tengah lautan, kemudian bermohon dan berdoa kepada Tuhan.

“Kalau memang betul kehamilan saya ini bukan akibat dari perbuatan manusia, maka lebih baik ubahlah wujud saya menjadi batu seperti kedua kakandaku tadi daripada saya menanggung malu.”

Seketika berubahlah wujudnya dan perahu yang didayungnya tadi menjadi batu yang disebut marijuanga. Kata marijuanga berasal dari dua kata dasar ‘mari’ dan ‘juanga’. Mari artinya batu, sedangkan juanga artinya perahu. Selain itu, juanga bisa berarti pula cahaya. Hal ini disebabkan pada waktu siang hari, ketika air laut surut, batu marijuanga timbul dan dikelilingi oleh pasir putih. Dari kejauhan terlihat cahaya yang mengelilingi batu tersebut.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar