Menyesal

Key dan Ibun sore itu sedang asyik jalan berdua. Mereka sedang berada di sebuah mal di Jakarta menunggu Ayah pulang kerja. Setelah itu keluarga kecil itu akan menghabiskan sabtu sore menonton sebuah film keluarga di bioskop.

Saat melewati sebuah toko mainan, Key tertarik melihat satu boneka cantik berambut ikal terurai terpajang di sana.

“Wow, cantik sekali!” seru Key.

“Kamu mau?” tanya Ibun.

Key mengangguk penuh harap. Dia takut ibunya menolak karena bulan lalu Key juga sudah dibelikan boneka.

Tapi ternyata Ibun membelikannya.

“Ibun belikan supaya kamu bisa  bermain bersama Gendis nanti,” jelas Ibun.

“Oh. Iyaa,” Key lupa.

Gendis akan datang dari desa minggu depan. Tepat saat liburan sekolah dimulai.

“Plus, ini juga hadiah dari Ibun atas prestasimu selama ini di sekolah,” Ibun memberinya sebuah pelukan hangat.

“Alhamdulillaah. Terimakasih, Bun!” Key memeluk erat ibunya penuh terimakasih.

Liburan pun tiba. Key sungguh tak sabar menunggu kedatangan Gendis. Selain karena ingin punya teman bermain di rumah, Key juga ingin memperkenalkan boneka barunya yang diberi nama Ikal. Akhirnya Gendis datang bersama ayahnya. Hampir tiga tahun lamanya mereka tak berjumpa karena terpisah oleh pandemi.

“Bonekamu banyak sekali, Key,” Gendis berseru takjub  melihat koleksi boneka Key.

“Alhamdulillah, Ibun yang belikan. Mungkin Ibun kasihan karena aku enggak punya teman bermain di rumah,” jelas Key.

“Iya, ya,” Gendis bisa merasakannya.

“Tapi, sekarang aku senang sekali ada kamu, Dis,” Key tersenyum riang. “Ayuk, aku perkenalkan bonekaku satu persatu.”

Tak terasa sudah seminggu berlalu dan Gendis harus pulang.

“Key, hari ini hari terakhir aku di Jakarta, besok aku kembali pulang, “ ucap Gendis sendu.

Key menunduk lesu. Membayangkan dia akan kembali bermain sendirian seperti biasanya.

“Key jangan sedih,” bujuk Gendis. “Semoga saja saat liburan nanti aku bisa main ke Jakarta lagi.”

Mata Key jadi berbinar kembali.

“Gendis, kamu mau apa sebagai tanda mata dariku?” tanya Key.

“Seriusan?” Gendis bertanya penuh harap.

Key mengangguk, “Tentu dong. Kamu tinggal bilang mau apa saja yang ada di kamarku ini.

“Hmmm,” Gendis terlihat ragu… “ Aku… ingin….boneka,” harapnya. “Satuu saja, ga usah yang baru, yang lama aja.”

Key mendadak terdiam. Matanya memandangi koleksi bonekanya yang satu lemari kaca itu satu per satu.

Lah,kenapa ya? Key merasa heran hatinya terasa berat. Serasa tak ingin berpisah dengan satu pun boneka miliknya. Padahal, kan banyak boneka yang sudah lama tak sempat dia ajak bermain lagi.

Hening terasa di kamar itu.

“Kalau tak bisa, ya tak apa-apa kok,” sela Gendis. “Bisa berlibur ke Jakarta dan bermain bersamamu pun aku sudah senang,” Gendis tersenyum.

Keesokan paginya semua bersiap. Pagi-pagi Ayah sudah memanaskan mesin mobil. Ibun  memasukkan tas-tas dan koper ke dalam bagasi.

Key dan Gendis menghabiskan sarapan mereka setelah selesai mandi dan berdandan rapi. Setelah  mencuci piring dan merapikan meja makan. Mereka semua naik ke dalam mobil.

“Mari kita berdoa dulu sebelum berangkat,” Ayah berkata.

Dan perjalanan menuju desa pun dimulai.

“Di desa sedang panen padi,” Ayah bercerita sambil menyetir. “Makanya Ayah Gendis tidak bisa menjemput Gendis ke Jakarta.”

“Musim panen merupakan masa yang menyenangkan. Ayah jadi rindu masa kecil di desa dulu,”  Ayah bernostalgia.

“Aroma padi yang menguning di sawah tertiup angin dan bermain layang-layang saat sawah sudah berubah menjadi lapangan datar dan kering. Itu masa yang sungguh tak terlupa.”

Alhamdulillah mereka tiba dengan selamat. Key senang sekali bisa mengantar Gendis. Karena sudah lama mereka tidak bisa menikmati suasana desa.

Gendis mengajak Key main ke sawah melihat acara panen padi. Key takjub melihat  bulir-bulir padi berwarna keemasan ditumpuk menggunung. Pemandangan yang tidak akan ditemuinya di kota.

“Key, ayuk kita mandi ke sungai!”  ajak Gendis.

“Sungainya bersih sekali airnya dan sejuk,” Key senang sekali berenang di sungai.

Mereka bahkan bisa melihat ikan berenang di dasar sungai karena air sungai yang bening.

Dan malamnya  mereka tiduran di  atas bale-bale bambu.

“Gendis, mana koleksi bonekamu? Kita main dulu yuk sebelum tidur!” ajak Key.

“Tunggu sebentar,” Gendis menuju ke sudut ruangan dan kembali dengan memeluk sebuah boneka.

“Aku hanya punya satu boneka. Namanya Cantik,” Gendis menyodorkan bonekanya pada Key.

Key terkejut. Boneka Gendis itu sebenarnya tidak seperti namanya. Cantik itu sebuah boneka yang terbuat dari jerami. Badannya kaku dan keras.

Key meneteskan air mata. Menyesal karena tidak mau berbagi boneka dengan sepupunya yang baik hati, Gendis.

Key berjanji sesampainya di rumah akan mengirimkan sebagian dari bonekanya ke desa. Biar Gendis bisa mengajak teman-temannya ikut bermain boneka juga. Seperti yang mereka berdua lakukan di Jakarta.

TAMAT

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar