Naga Baru Klinting dan Tenggelamnya Desa

Dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang belum memiliki seorang anak. Mereka berdoa siang dan malam kepada Tuhan, hingga akhirnya sang istri hamil. Tentu saja suaminya sangat gembira. Sembilan bulan berlalu, ternyata sang istri melahirkan seekor ular sanca sebesar lengan orang dewasa. Hal itu membuat suaminya marah dan memutuskan pergi bertapa di puncak gunung.

Ular itu tumbuh semakin besar dan meminta untuk diberi nama. Lalu sang ibu menamakannya Naga Baru Klinting. Hal tersebut membuatnya senang. Tak beberapa lama, Baru Klinting menanyakan keberadaan ayahnya. “Ibu. Sampai sebesar ini, aku belum pernah bertemu ayahku. Di mana dia berada?”

Ibunya menjawab, “Ayahmu tengah bertapa di puncak gunung. Silakan jika kau ingin menemuinya.”

Di keheningan malam. Orang-orang sudah terlelap tidur. Baru Klinting keluar dari rumah dengan waspada, tubuhnya meliuk menuju puncak gunung. Karena lelah, ia beristirahat dan meminum air di tepi sungai. Tubuhnya membesar sampai seperti batang pohon kelapa. Sisik bertambah banyak dengan mata melotot tajam, itu semakin membuatnya menyeramkan.

Baru Klinting membuat tanah yang dilewatinya bergetar, hingga rumah-rumah penduduk terkena longsoran tebing. Ayah Baru Klinting yang sedang bertapa menjadi terganggu, laki-laki itu mendatangi ular Baru Klinting. “Apa yang sedang kau perbuat di sini? Kau mengganggu semediku.”

“Maafkan saya Tuan. Saya tengah mencari ayah saya yang bertapa di sini.”

“Kau harus menunggu dengan melingkarkan tubuhmu di gunung ini. Jangan sampai pergi! Sebelum dia datang menemuimu.”

“Baiklah, saya akan menuruti perkataanmu.”

Baru Klinting mulai membelit puncak gunung yang lancip. Tetapi tubuhnya tak cukup panjang, itu sebabnya ia menjulurkan lidah. Tujuh hari kemudian, ayahnya kembali datang dan berkata, “Aku tak bisa percaya kamu adalah anakku. Untuk itu, aku akan memotong lidahmu. Apakah kau bersedia?”

“Tentu saja, aku akan melakukan apapun agar kau menerimaku,” jawab Baru Klinting dengan ikhlas.

Lidah itu ditebas dengan pedang dan berubah menjadi sebuah keris pusaka yang amat sakti. Setelah itu Baru Klinting tetap diminta bertapa selama seratus tahun. Tubuhnya kelamaan menyatu dengan batang pohon dan tanah. 

***

Suatu hari, di sebuah desa akan diadakan sebuah pesta pernikahan. Namun, orang-orang belum memiliki daging untuk dimasak. Mereka memutuskan untuk berburu di hutan. Siang itu kijang ataupun babi tak ada yang menunjukkan diri. Orang-orang desa memutuskan beristirahat di bawah pohon. Salah satu orang menancapkan pisaunya ke sebuah batang, tanpa disangka malah mengeluarkan darah. Mereka terkejut saat mengetahui itu adalah tubuh ular yang sangat besar.

Tanpa rasa bersalah. Mereka malah memotong-motong tubuh sang ular dan membawanya pulang. Kemudian daging itu dimasak dan disuguhkan untuk acara pernikahan. Orang-orang desa menjadi sangat gembira.

Tak lama ular itu berubah wujud menjadi seorang anak kecil, dengan badan penuh luka menjijikkan dan tak bisa berbicara dengan lancar. Anak itu datang ke pesta pernikahan, tentu saja orang-orang langsung mengusirnya. Hal itu membuat anak kecil jelmaan ular Baru Klinting menangis. 

Baru Klinting kemudian berjalan dengan lesu di sepanjang jalan. Seorang nenek tua bernama Nyai Latung merasa iba melihatnya. Ia langsung mengajak Baru Klinting ke rumah dan menjamunya dengan makanan. Anak itu sampai kekenyangan.

“Terimakasih Nek. Kamu sudah mau memberiku makanan enak ini,” kata Baru Klinting sambil memegangi perutnya.

Nenek itu tersenyum tulus. “Sama-sama Nak. Hati-hati ya pulangnya!”

“Sebelum saya pergi, saya mau berpesan kepada Nenek, ‘Saat ada suara teriakan dan gemuruh air, Nenek harus membawa lesung dan centong nasi ke atas bukit!’ Apakah Nenek mengerti?”

“Tapi Nak ….”

Baru Klinting segera menyela, “Tak ada waktu banyak Nek. Maaf, saya harus segera pergi.”

Setelah itu, Baru Klinting kembali ke pesta pernikahan tadi. “Wahai orang-orang, aku memiliki sebuah sayembara!!”

Orang-orang yang penasaran segera mendekati Baru Klinting. “Sayembara apa maksudmu bocah?”

Baru Klinting mengangkat sebuah lidi. “Jika kalian sanggup mencabut lidi yang kutancapkan ini, maka kalian yang menang. Tetapi, jika aku yang bisa mencabutnya. Maka kalian kalah dan harus memberiku makanan. Apakah kalian berani?”

“Kami berani!!” sorak semuanya.

 

Semua orang mencoba mengikuti sayembara mencabut lidi itu. Namun sayang, tak satupun berhasil mencabutnya. Hal itu membuat Baru Klinting tertawa girang. Baru Klinting segera mencabut lidi. Keluarlah air yang mengucur deras dari dalam tanah. Semakin lama air itu merendam rumah dan seluruh desa. Teriakan riuh mulai terdengar hingga ke telinga Nyai Latung. Segera Nyai Latung membawa lesung dan sebuah centong nasi ke atas bukit. Nyai Latung berhasil selamat. Sekarang desa telah sepenuhnya berubah menjadi sebuah telaga. Di kemudian hari, masyarakat menamainya ‘Telaga Ngebel’.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar