Pencarian Vesivatoa [PART 13 : HUJAN MAUT]

Kelima anak itu mengikuti Nona Areth memasuki sebuah lift. Pintunya kemudian terbuka di sisi yang berseberangan. Setelah mengenakan kembali ​outdoor suit​, mereka pun keluar. Ada koridor pendek yang harus dilalui sebelum mereka bisa melihat sebuah gerbang besar yang dijaga enam tentara tinggi besar.

Belum sampai di gerbang, tiba-tiba Nona Areth berhenti.

“Tidak, kita tidak bisa mengirim pasukan keluar portal saat ini Prof. Terlalu berbahaya,” katanya seolah sedang berbicara dengan seseorang, namun ia tak terlihat menggunakan alat telekomunikasi apapun. 

“Pasti alat itu sangat kecil atau mungkin tanpa alat sama sekali,” bisik Ghazi, “Jangankan menggunakan alat sebesar ponsel, mendatangkan pesawat secanggih Picasso saja cukup dengan berkedip,” yang lain mengangguk-angguk

Nona Areth menoleh ke arah anak-anak Dollabela sambil memberi kode untuk menunggu. Mereka melipir ke tepi koridor sebagaimana yang dilakukan Nona Areth. Ia melanjutkan pembicaraannya, bahkan sekarang sambil mengeluarkan semacam layar-layar virtual mini. Kelihatannya persoalan itu sangat serius.

“Sepertinya, ini soal kebocoran alat teleportasi itu,” Alana berbisik kepada kawan-kawannya. 

“Pasti orang yang tersesat itu bukan main bingungnya melihat masa lalu,” Nabiella menimpali. 

“Semoga saja ia tidak sedang mengenakan kostum stormtrooper lalu muncul di warung masakan padang,” imbuh Kalma sambil mengusap-usap perutnya yang tak pernah kenyang.

Adora meringis mendengarnya, lalu balik berbisik “Mungkin ia cocok bekerja sebagai pelayan. Karena tangannya pasti kuat menopang banyak piring dengan kostum itu!”

“Bu, mau tambah sate padang jangkrik atau rendang spirulina?” imbuh Kalma sambil meniru pelayan restoran yang bergerak kaku seperti tentara droids. Anak-anak itu sebisa mungkin menahan tawa.

“Hey … ayo!” Nona Areth rupanya sudah menyelesaikan urusannya. Mereka kembali berjalan menuju gerbang. Tak ada pemeriksaan khusus di gerbang keluar. Tampaknya itu karena para pengawal sudah mengenali Nona Areth. Mereka hanya menganggukkan kepala. Setelah kostum ​outdoor suit ​dikenakan, salah satu dari mereka bersiap menekan tombol pembuka gerbang berwarna merah yang melekat pada dinding di hadapan mereka.

Saat tangan pengawal sudah terangkat untuk menekan tombol itu, tiba-tiba terdengar bunyi sirine. Para pengawal membuat barikade di pintu gerbang. Sebuah layar virtual muncul menyajikan video langit yang sangat gelap dan perlahan-lahan turun hujan. Di bawahnya tertulis:

BAHAYA! HUJAN! PINTU GERBANG DITUTUP HINGGA PENGUMUMAN SELANJUTNYA.

Anak-anak terhenyak sesaat. Mereka saling berpandangan dengan rasa heran. Nona Areth tampaknya menangkap kebingungan mereka karena tanpa ditanya, ia menjelaskan situasi yang tengah terjadi.

“Hujan di zaman ini bukanlah hujan air biasa. Ini adalah hujan asam yang berbahaya. Satu tetes saja menyentuh kulit bisa menyebabkan luka lepuh yang cukup parah.” 

Mereka menatap tak percaya jawaban Nona Areth. Apalagi mereka sering main hujan bersama bila hujan turun lebat saat pulang sekolah.

“Lantas Nona … bagaimana mata air bisa tercipta?” tanya Alana sangsi.

“Tanah menyaring air hujan ini. Itupun melalui proses yang lama sekali. Mata air Samaila saja ditemukan di kedalaman yang sangat jauh. Mungkin itu mata air kuno yang baru tergali saat ini.” jelas Nona Areth.

“Jadi, hujan asam adalah alasan utama dibuatnya kubah untuk tiap negara?” tebak Ghazi.

“Tepat sekali, Anak muda!” Nona Areth rupanya senang dengan tepatnya dugaan Ghazi.

Untungnya hujan berhenti dalam lima menit saja. Sirine telah usai. Barikade pengawal juga segera dibubarkan. Syukurlah, kini mereka bisa melintasi gerbang negeri Chinaza.

Mereka berjalan sebentar. Ghazi menoleh ke belakang, menatap Chinaza. Ada keanehan yang ia pikirkan. “Nona, kurasa dari luar, Samaila dan Chinaza tidak terlihat berbeda. Hanya sebuah wilayah dengan gedung gedung abu-abu di dalam kubah besar. Betulkah itu?” tanya Ghazi penasaran.

“Iya betul, salah satu tujuannya agar tidak terjadi kecemburuan dan peperangan karena menginginkan sumber daya negara lain. Semua negeri akan terlihat sama di luar gerbang” jelas Nona Areth.

“Wah, padahal kalau kita melihat keindahan negara lain, kita kan jadi ingin berkunjung, jadi punya teman baru, dan pengalaman baru.” sesal Nabiella.

“Iya, aku juga berharap suatu hari kami akan kembali seperti itu.” Nona Areth menjawab dengan pelan sambil menghela nafas. Ia lalu menghentikan langkahnya dan memberi isyarat pada yang lain untuk berhenti.

Sebuah kapsul putih muncul entah darimana.

“Selamat datang kembali, Nona Areth,” sebuah suara yang familiar terdengar dari kapsul itu. Picasso menyambut mereka dengan pintu terbuka. Mereka memasuki ruangannya yang sejuk, harum, berwarna putih polos tanpa setitikpun noda. Kursi-kursi empuknya seakan menyambut tubuh mereka yang lelah. Saatnya beristirahat sejenak.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar