Pencarian Vesivatoa [Part 16 : KEPUTUSAN BERAT]

Hologram batu berwarna biru laut seukuran mangkuk sup melayang di tengah ruangan.

“Vesivatoa adalah sumber energi turbin penjernih. Batu ini bernama Oceana,” Kiyai Usman mulai menjelaskan,

“Ingatlah, Anak-anak yang mulia, Oceana adalah batu air murni lautan bumi. Ia beristirahat di samudera yang tenang, tapi terancam menghilang karena cahaya mentari terhalang sampah-sampah yang berenang-renang.”

“Maaf, boleh pinjam bolpoin? Aku khawatir lupa,” potong Ghazi. 

Nona Areth tersenyum, “Kalian tak akan lupa, ‘Ingatlah, Anak-anak yang mulia’ adalah kode yang kuciptakan untuk menanam memori ini dalam otak kalian,” 

Ghazi terkagum-kagum, Andai bisa diterapkan untuk pelajaran di sekolah, pikirnya.

Hologram Oceana menghilang, berganti hologram berwarna hijau daun.

“Ingatlah, Anak-anak yang mulia. Inilah Leafa, batu air murni embun pagi. Di hutan, ia duduk damai di pucuk-pucuk tinggi, menantang matahari. Sepanjang tahun, sepanjang waktu. Namun, satu demi satu pijakannya rubuh. Tanpa pijakan, ia akan menghilang,” lanjut Kiyai Usman

Hologram Leafa berganti hologram berwarna seputih awan.

“Ingatlah, Anak-anak yang mulia. Inilah Neva, batu air murni dari serpihan salju. Tenteram terjaga dalam hamparan beku. Namun, para pengawalnya meleleh sedikit demi sedikit. Tanpa penjaga, ia akan hanyut lalu menghilang.”

“Bila tiga batu ini berkumpul, akan tercipta batu yang terkuat. Batu itulah Jantung Vesivatoa. Ia seharusnya ada di tengah turbin ini,” pungkas Kiyai Usman sambil menunjuk kembali bingkai di tengah turbin. Di dalam bingkai itu ada lambang seperti pada pintu logam tempat mereka masuk tadi.

“Anak-anak yang mulia, kami percaya, menemukan kembali batu-batu itu adalah takdir kalian,” Prof WIll berkata penuh keyakinan.

Semua saling pandang dengan sangsi, kecuali Ghazi. Matanya berbinar-binar, bibirnya dikatupkan, menahan pekik senang.

Prof. Will menatap mereka satu per satu, “Prof. Nakamura telah menceritakan sifat dan pengalaman kalian. Kalian memang belum dewasa, namun kalian punya keberanian serta kelurusan hati dan pikiran.”

“Tetap saja, kami hanya anak-anak …” protes Alana.

“Kalian punya kemampuan yang dibutuhkan oleh misi ini,” Nona Areth membawa lima buah gelang putih. “Gelang ini akan memperkuat potensi kalian, sehingga bisa jadi senjata saat menghadapi kesulitan” 

“Di dalamnya ada detektor Vesivatoa. Pada radius dua kilometer, gelang ini akan mulai berkedip. Semakin dekat, kedipnya akan semakin cepat”

“Ada tiga bingkai bulat, tempat menyimpan Vesivatoa bila kalian sudah menemukannya, kami akan segera tahu bila itu terjadi. Di bagian tengah ada kotak yang berfungsi sebagaimana gelang ​outdoor suit ​yang kalian pakai sekarang,” tutup Nona Areth.

Ia kemudian beranjak mendekati Adora.

“Adora, kau tertarik mendalami pengobatan, bukan? Bila kau kesulitan menemukan obat, tekanlah gelang ini di atas pembuluh nadimu. Ia akan mencari segala yang bisa jadi obat di dekatmu.”

Lalu, beliau menghampiri Alana.

“Alana, kamu punya kemampuan memimpin. Kamu mungkin harus menghadapi orang-orang dewasa yang serakah dan berbahaya. Bila kau mulai cemas, tekanlah gelang ini. Ia akan menenangkan tubuhmu, lalu meningkatkan konsentrasi sehingga kau bisa memimpin makhluk bumi.”

Berikutnya giliran Nabiella,

“Nabiella, gelang ini punya detektor lokasi super sensitif yang diaktifkan oleh kemampuan spasialmu yang istimewa. Kamu akan tahu lokasi presisi Vesivatoa saat posisi kalian sudah semakin dekat.”

Sambil tersenyum, Ia menatap Kalma,

“Kalma, kau senang meracik makanan menghibur orang lain. Gelang ini membantumu mendeteksi bahan makanan dan juga memancarkan gelombang hipnosis yang menenangkan.”

Ghazi yang terakhir,

“Ghazi, kamu bangga bisa melindungi orang lain, bukan? Gelang ini bisa membuat berbagai mesin dan senjata, serta menambah kekuatan bela dirimu. Jangan luput dalam mengawasi kawan-kawanmu!”

Nona Areth kembali berdiri di samping dua koleganya. Kiyai Usman mengayunkan tangan  lalu muncullah hologram bumi. Ada titik-titik cahaya  berwarna seperti batu-batu Vesivatoa, tersebar di berbagai benua. 

“Titik cahaya ini adalah perkiraan posisi Vesivatoa. Vesivatoa akan berada di tempat yang paling alami, dan ia hanya akan muncul bila kondisi sekitarnya murni. Misi kalian adalah menemukan mereka,” jelas Kiyai Usman.

“Akan tetapi, di tempat-tempat itu mulai muncul kerusakan-kerusakan alam karena tangan-tangan manusia. Pasti ada yang sangat tidak suka dengan misi kalian. Apalagi masih ada sisa-sisa campur tangan Lukaccio di masa kalian,” lanjutnya.

“Ada yang ingin kalian tanyakan sebelum pergi?”

“Berapa banyak waktu yang kami punya?” Alana memberanikan diri bertanya.

“8 minggu 3 hari, sebelum semua batu itu musnah,” jawab Prof Will pasti.

“Tepat sepanjang liburan semester kita,” Ghazi bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Bagaimana bila kami gagal?” tanya Alana khawatir.

“Kami akan membantu kalian sekuat tenaga, teknologi, bahkan nyawa. Bila sampai gagal, air bersih akan habis dalam 10 tahun. Kepunahan manusia tinggal menunggu waktu. Seperti yang diinginkan Zavreno, hanya makhluk yang sempurna yang dapat hidup di galaksi,” Kiyai Usman berubah muram.

Beberapa saat hening sampai terdengar langkah kaki Adora. Ia maju ragu-ragu. Sambil tertunduk, Adora menyerahkan gelangnya kepada Prof. Will.

“Maaf, tapi … aku tidak sanggup,” lirih Adora, suaranya bergetar.

Seisi ruangan sunyi. “Orangtuaku selalu berpesan agar aku jangan sampai terluka. Mereka tentu akan kecewa dan sedih bila sampai kehilanganku,” Adora mulai terisak,  “Maaf … sungguh aku berterima kasih karena kalian begitu mempercayaiku, tapi …. ” Adora tak tahan, ia menangis sambil bersimpuh

Alana segera memeluk sahabatnya itu. Prof. Will menghampiri mereka berdua, lalu mengajak berdiri.

“Anak-anak, kami sudah menunggu bertahun-tahun untuk kalian. Kami sudah mempersiapkan  segala teknologi yang kami bisa …, ” Prof Will berhenti sejenak, “Namun, kalian tetaplah anak dari orangtua kalian. Tidak apa-apa, bila kalian menolak misi ini.”

Kiyai Usman menghela napas. Sementara Nona Areth memalingkan wajahnya ke tanah. Keduanya tampak kecewa.

“A-aku pun minta maaf. Orang tuaku sudah tua. Akulah satu-satunya penerus dan perawat mereka,” murung Alana sambil ikut mengembalikan gelangnya.

Prof. Will terdiam menatap gelang dari Alana. Dengan ragu-ragu, Nabiella dan Kalma juga ikut menyerahkan gelangnya. 

Namun, tangan Ghazi mengepal, “Aku akan menerima misi ini!” Matanya menatap Prof. Will lekat-lekat. Yang lain terperangah, mereka tak menyangka Ghazi yang tampak santai sejak mereka tiba di zaman ini, justru bersikukuh menjalankan misi. “Akupun anak tunggal. Tapi kalaupun aku sampai gugur, ayahku akan bangga,” katanya lurus.

Nona Aret tersenyum, Prof. Will pun segera memeluk Ghazi. “Terima kasih, Nak.”

“Tapi, kau tak bisa berjuang sendirian, Ghazi.” Kiyai Usman kini angkat bicara. “Tak apa. Sekarang kalian sudah mengetahui kondisi masa depan. Semoga setidaknya kalian sendiri bisa menjaga diri. Jangan khawatirkan kami, karena kami akan terus berusaha mencari cara dan orang yang lain.” lanjutnya.

Seisi ruangan kembali sunyi. Ghazi tampak kecewa.

“Baiklah … Sudah waktunya kalian pulang. Aku akan mengantar kalian.” Nona Areth menutup pembicaraan. “Picasso!” panggilnya.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar