Anak-anak tersentak kaget. Wira melongok ke langit-langit. Hanya tampak atap dan kasau-kasau kayu. Benar, tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan gua tempat mereka tadi masuk.
“Melihat jenis pohon, suhu, dan lokasinya, aku hampir 100 persen yakin kalau hutan yang di depan itu adalah Black Forest,” ujar Kalma. Dari sekian banyak nama hutan, Black Forest adalah yang paling diingatnya.
“Wah, akurat. Kalau ada hubungannya sama makanan, kamu tidak pernah salah ya, Kal,” ujar Ghazi menahan tawa.
Keenam anak itu mengendap-endap keluar dari gudang jerami. Di bagian depan tampak sebuah rumah pertanian tiga lantai. Mereka berjalan ke arah hutan untuk mencari tempat bersembunyi yang lebih aman. Lagi pula, Vesivatoa akan bertahan utuh jika ada di tempat yang alami.
Sebelum masuk ke hutan, mereka harus melewati padang rumput tempat alat-alat berat itu mengangkut gelondongan batang pohon. Ghazi memimpin rombongan dengan cekatan. Menyelinap di antara tumpukan kayu dan mobil-mobil truk yang sedang diparkir.
“Hei! Kalian sedang apa di sana?” teriak seorang laki-laki brewok yang sedang berdiri di atas tumpukan kayu. Dia baru saja memakan kudapan, lalu melempar sampahnya begitu saja ke tanah. Ia mendekat ke tempat anak-anak berdiri.
“Gawat! Kita ketahuan!” seru Alana cemas.
Laki-laki itu telah sampai di dekat mereka sebelum anak-anak sempat berdiskusi mencari jalan untuk kabur.
“Tempat ini area terlarang! Bagaimana kalian bisa ada di sini?” tanya lelaki itu kasar.
“Oh … Maaf, kami tidak tahu,” jawab Kalma dengan menampakkan wajah tak bersalah. “Kami hanya jalan-jalan dan piknik kecil-kecilan,” tambahnya lagi. Kalma mengeluarkan kotak makanannya yang berisi cake wortel yang lezat.
“Kalau tidak percaya, lihat ini, Mister. Tasku berisi banyak makanan. Silakan dicicipi.” Kalma menyodorkan makanannya ke hadapan lelaki brewok itu.
“Iya, benar,” timpal Adora sambil memberikan senyum termanisnya, walaupun sebenarnya hatinya gentar. “Setelah makan kami akan hiking ke dalam hutan, tidak akan berlama-lama di sini.”
Melihat wajah Kalma dan Adora yang polos serta tingkah mereka yang sopan, suara Mister brewok mulai melunak. “Baik, tapi sebelum keluar dari sini, kalian harus berhadapan dengan Tuan Albrecht, bos kami dulu.
Mister brewok menggiring anak-anak menuju rumah pertanian, dan membawa mereka ke lantai paling atas. Anak-anak itu sangat khawatir. Orang seperti apa yang akan mereka hadapi di rumah tersebut?
“Tenanglah … jangan sampai terlihat panik,” bisik Wira yang berjalan di sebelahnya. “Berdoa agar semuanya baik-baik saja.” Kata-kata Wira itu dapat mengurangi sedikit ketakutan di hati Adora.
Mereka disuruh menunggu di sebuah ruangan berdinding kayu, dengan jendela menghadap ke hutan. Tajuk pohon-pohon yang runcing terhampar hijau di bawah sana. Pemandangan di luar pasti terasa lebih indah kalau suasananya tidak mencekam seperti ini.
Terdengar langkah seseorang masuk ke ruangan sebelah, lalu suara pintu berdebum dengan kencang. Sepertinya dia adalah tuan Albrecht. Orang itu sedang berbicara di telepon, dengan suaranya yang serak.
Wira berjalan ke dekat pintu yang menghubungkan ruang tempat mereka berada dengan ruang sebelah. Kebetulan pintu itu terbuka sedikit, sangat ideal untuk mengintip dari sana.
Sosok laki-laki tinggi besar dengan kepala setengah botak tampak sedang jalan mondar-mandir memegang telepon genggamnya. Wajahnya tidak terlihat jelas, tertutup kacamata hitam yang ukurannya lebih cocok dikatakan sebagai kaca muka ketimbang kaca mata.
“Bagus!” seru laki-laki itu lantang.
“Jangan sampai ada hutan tropis yang masih tersisa. Ingat target kita. Sekarang kita sudah mulai membabat hutan-hutan di daerah subtropis.”
Anak-anak saling berpandangan dengan kening yang berkerut. Mereka mencoba memahami maksud pembicaraan laki-laki botak berkaca muka itu. Wira memandang ke luar lewat jendela. Bagian pinggir hutan Black Forest sudah mulai gundul. Batang-batang kayu gelondongan diangkut oleh truk-truk besar entah ke mana.
Ugh … dasar orang-orang serakah! Menggunduli hutan seenaknya! teriak Wira dalam hati. Tangannya mengepal erat saking kesalnya.
“Kalian masih punya tugas lain,” suara serak itu terdengar lagi. “Cari Leafa Sampai ketemu, lalu segera musnahkan!” perintahnya dengan suara tajam. “
Leafa? Sontak anak- anak terlonjak kaget. Bagaimana mungkin ada orang lain yang juga mengetahui tentang batu itu selain mereka. Lebih parahnya lagi, orang-orang dewasa itu ingin memusnahkan salah satu dari vesivatoa yang sangat dibutuhkan di masa depan.
Tanpa sengaja badan Wira mendorong pintu di dekatnya. Pintu kayu itu berderit dan terbuka lebih lebar. Tepat saat itu laki-laki setengah botak itu memandang dan saling bertatapan dengan Wira.
Ketahuan!
Wira hanya bisa diam mematung, tak bersuara sedikitpun. Berharap laki-laki itu kembali melanjutkan pembicaraannya di telepon, dan melupakan keberadaannya di sana.
“Hei, anak tengil! Berani-beraninya kau mencuri dengar pembicaraanku!” bentak Tuan Albrecht dengan suara serak yang menggelegar. Wira terlonjak kaget. Anak-anak lain gemetar ketakutan. Adora memejamkan matanya, jongkok sambil bersembunyi di balik meja makan.
Laki-laki itu berjalan mendekati Wira dengan langkah tergesa-gesa. Tangan kekarnya mencengkeram kerah baju Wira. Anak laki-laki itu tetap menatap wajah Tuan Albrecht, meskipun rasa takut menjalar di seluruh tubuhnya. Ia berusaha melepaskan diri dari Tuan Albrecht. Wira menarik badannya kuat-kuat. Genggaman Tuan Albrecht tiba-tiba lepas dan Wira terjatuh ke belakang, menghantam sebuah vas bunga besar yang terbuat dari kaca.
PRANGGG!
Vas itu hancur berantakan. Seketika Wira merasakan perih di lengannya. Darah mulai mengalir deras dari dekat pergelangan tangannya.
“Hei, cepat kembali ke tempat teman-temanmu. Aku tidak ingin darahmu mengotori karpet ruang kerjaku!” perintah Tuan Albrecht dengan muka jijik. Kemudian laki-laki itu mendatangi ruangan tempat anak-anak yang lain sedang menunggu di sebelahnya.
“Kalian sudah masuk tanpa izin, dan sekarang ingin mencampuri urusan orang dewasa!” bentak Tuan Albrecht. Wajahnya tampak begitu menyeramkan.
Adora terkejut melihat Wira yang masuk dengan tangan bercucuran darah. Anak perempuan itu langsung mengambil handuk kecil dari tasnya, lalu membalut luka Wira dengan kuat.
“Ma-maaf, Tuan, kami tidak sengaja.” Alana menjawab dan berusaha tampak tenang. Tentu saja sebelumnya ia sudah menekan tombol di gelangnya untuk mengurangi rasa cemas. ”Tuan tidak perlu khawatir. Kami hanya anak-anak kecil yang tak akan mengganggu Anda.”
“Tidak bisa! Kalian sudah masuk ke tempat super rahasia. Sekali masuk ke sini, tidak ada lagi jalan keluar,” bantah Tuan Albrecht tegas. “Demi keamanan pekerjaanku, kalian terpaksa aku tahan di sini sampai urusanku selesai.”
“Tapi Tuan …”
“Jangan khawatir, kalian tidak akan mati kelaparan di sini. Makanan akan disiapkan tiga kali sehari. Di ruangan ini juga ada kamar mandi yang bisa kalian pakai.”
Tuan Albrecht mengunci kedua pintu di ruangan itu dari luar, pergi meninggalkan anak-anak yang masih bingung dan ketakutan.