Pencarian Vesivatoa [Part 24 : PINDAH]

“Profesor, ada sinyal yang datang dari masa lalu!” ujar Nona Aretha yang tiba-tiba muncul di kantor Prof. Will. Bola mata wanita itu beberapa kali tampak berpendar.

“Apakah itu sinyal dari gelang anak-anak Dollabella?” tanya Prof. Will menduga. “Aku khawatir mereka dalam masalah. Coba buka portal untuk berkomunikasi dengan mereka, Nona Areth!”

Mata Nona Areth kembali berpendar, mengeluarkan cahaya. Program komputer canggih di bola matanya tengah berusaha membuka portal yang selama ini ditutup dan dijaga ketat. Sejak terjadi kekacauan yang disebabkan ulah Lukaccio, semua orang menjadi trauma untuk membuka portal antar waktu itu.

“Apakah kalian mendengar suaraku?” Nona Areth berusaha menghubungi anak-anak Dollabella melalui gelang mereka. Sesaat hanya terdengar suara berdesis, mirip seperti radio rusak.

“Sekali lagi, di sini Arethana. Apakah kalian mendengarku?”

“Nona, Areth! Syukurlah … Anda menghubungi kami pada saat yang tepat!” Samar-samar terdengar suara Ghazi menyahut.

“Bagus, apakah kalian baik-baik saja?”

“Kami sudah mendapatkan batu Leafa!” seru Ghazi antusias. Mendengar itu, seketika Wajah Nona Areth dan Prof. Will tampak berseri-seri. Mereka memang sudah menangkap sinyal leafa, tapi tidak jelas.

 “Sekarang kami terjebak dalam sebuah rumah di dekat Black Forest. Kipas teleportasi Prof. Nakamura rusak, dan kami tidak bisa pulang.”

“Rusak?” tanya Prof. Will heran. “Aku akan cek sekarang juga. Sepertinya ada yang tidak beres.”

Prof. Will mengutak-atik layar virtual yang baru saja muncul di hadapannya. Berbagai kode rahasia ia masukkan untuk melacak keanehan yang sedang terjadi dalam sistem teleportasi.

“Celaka! Sepertinya ada yang memasang jebakan di beberapa pintu teleportasi. Sepertinya Usman benar, ini ulah Lukaccio.” kata Prof. Will kesal. “Siapa pun yang melewati pintu itu, maka mereka tidak akan bisa kembali lagi. Pintu itu dibuat hanya untuk satu arah.”

“Jadi apa yang harus kami lakukan, Prof” tanya Ghazi dari seberang.

“Bertahanlah sebentar lagi, Nak! Kami akan mencoba mencari jalan keluarnya.”

 

***

 

“Alhamduliillah, ayam panggang dan kentang gorengnya enak!” seru Kalma puas. “Rupanya Mister Berewok pintar masak juga.”

Anak-anak benar-benar kekenyangan usai menyantap menu makan malam yang diantarkan Mister Berewok. Sepertinya laki-laki itu memberikan porsi dewasa, hingga mereka tak sanggup menghabiskan semuanya. Sesaat anak-anak Dollabella lupa dengan kipas Prof. Nakamura yang rusak itu.

Meskipun sudah jam 7 malam, matahari musim panas masih bersinar terang, masuk melalui jendela besar yang menghadap ke hutan. Anak-anak duduk melingkar, bermain teka-teki sambil menunggu instruksi dari Prof. Will.

“Ruangan ini panas sekali ya, kalau sore,” ujar Alana. Keringatnya mulai bercucuran membasahi leher dan dahi. Sinar matahari yang terik membuat suhu ruangan meningkat.

“Iya, apalagi Tuan Albrecht menggunduli hutan itu. Tempat yang gersang pasti akan terasa lebih panas,” ujar Wira menimpali.

Alana beranjak mendekati Ghazi. Ia mencari kipas Prof. Nakamura yang sudah rusak itu lalu membukanya perlahan. Bentuknya persis seperti kipas biasa, berwarna biru tua, dihiasi gambar ranting-ranting dan beberapa kuntum bunga Sakura.

“Dari pada kipas ini tidak berguna, lebih baik kupakai untuk menyejukkan badan saja,” kata Alana seraya mengipasi bagian lehernya yang sudah basah oleh keringat.

 

Anak-anak lain pun berusaha mencari benda tipis yang ada disekitarnya untuk dijadikan kipas. Mereka mulai tidak tahan dengan panasnya ruangan itu.

“Mungkin kita harus membayangkan tempat yang nyaman, supaya hati menjadi lebih lapang dan senang,” celetuk Kalma sambil mengipasi wajahnya dengan brosur tipis yang diambilnya dari lemari.

“Baiklah. Aku akan membayangkan kita berada di sebuah pulau yang sepi, sedang piknik di tepi pantai, dengan air yang jernih. Ombak berdebur-debur menghantam tebing cadas yang curam. Angin sejuk bertiup sepoi-sepoi membuat suasana semakin menyenangkan.” Alana berkata sambil memejamkan mata dengan tangan yang masih sibuk mengibaskan kipas Prof. Nakamura.

Seketika, muncul kilatan cahaya, dan ruangan itu berubah menjadi gelap gulita. Namun, dua detik selanjutnya ruangan kembali terang, bahkan lebih terang dari sebelumnya. Terdengar suara berisik yang sama-sekali tidak ada sebelumnya.

 Suara deburan ombak!

Alana dan teman-temannya tercengang melihat sekeliling. Mereka benar-benar sedang berada di pantai! Persis seperti yang diucapkan oleh Alana beberapa detik yang lalu.

“Kita sekarang berada di Pantai! Kipas itu bisa bekerja lagi!” seru Ghazi takjub.

“Alhamdulillaaaah … kita bebas teman-teman!” teriak Kalma senang, meskipun ia tidak tahu di mana mereka berada saat itu. Namun, yang jelas mereka sudah tidak menjadi tawanan Tuan Albrecht lagi.

Anak-anak bersorak bahagia. Mereka melompat-lompat kegirangan. Lautan biru yang jernih terhampar di hadapan mereka. Langit mulai terlihat berwarna jingga. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Angin laut bertiup kencang, membuat rambut dan pakaian mereka berkibar-kibar.

“Anak-anak, apakah kalian mendengarku?” tiba-tiba terdengar suara Nona Areth dari gelang mereka. Suara itu terdengar kecil sekali, bersaing dengan deburan ombak dan suara angin.

“Apakah kalian sudah sampai di tempat baru?”

 

“Ya, Nona Areth. Kami sudah berada di tepi pantai, di sebuah pulau kecil yang tidak kami kenali,” jawab Ghazi segera.

“Syukurlah. Berarti kami sudah berhasil membuat kalian berpindah ke tempat batu Oceana berada. Pulau itu terletak di tengah-tengah Samudera Pasifik,” ujar Nona Areth.

“Wow, kami sudah dekat dengan Oceana? Tapi gelangku belum mengeluarkan cahaya berkedip-kedip,” seru Nabiella heran. Gelangnya paling sensitif terhadap vesivatoa jika dibandingkan dengan milik teman-temannya.

“Berarti kalian harus mengelilingi pulau itu untuk mencarinya,” jawab Nona Areth dengan nada datar. “Selamat berburu Oceana, Anak-anak! Aku yakin kalian bisa. Cadangan air kami sangat tergantung pada kerja keras kalian.”

“Siap, Nona Areth!!!” Anak-anak menjawab serempak penuh semangat. Mereka merasa menjadi pahlawan yang sedang membawa misi penting untuk menyelamatkan bumi. Meskipun, berbagai rintangan sudah mengintai di depan.

 

***

 

Tuan Albrecht marah besar! Ia menggebrak meja lalu memaki-maki Mister Berewok habis-habisan, ketika mendapat laporan anak-anak tiba-tiba menghilang. Wajahnya merah, menahan emosi. Matanya melotot di balik kaca mukanya yang besar itu.

“Mengurus anak-anak ingusan saja kau tidak becus! Bagaimana kalau mereka membocorkan kegiatan rahasia kita?” teriak Tuan Albrecht kasar. Laki-laki itu berjalan mondar-mandir dengan napas yang memburu. Ia tak habis pikir bagaimana anak-anak itu bisa menghilang begitu saja tanpa jejak sedikitpun. Bahkan, rekaman kamera CCTV-pun tidak memberi petunjuk apa-apa.

Tiba-tiba telepon di kantor Tuan Albrecht berdering. Laki-laki gempal itu segera mengangkat gagang telepon.

“Albrecht, misi pertamamu sudah gagal!” Terdengar suara berat dengan nada yang tajam dari telepon.

Bagikan artikel ini:

4 pemikiran pada “Pencarian Vesivatoa [Part 24 : PINDAH]”

Tinggalkan komentar