PERANG BISIKAN

Ilan duduk sambil memijat-mijat kepala. Tidak, dia sedang tidak pusing. Hanya saja soal-soal ulangan yang diberikan Bu Nia siang itu membuatnya berpikit keras. Dari sepuluh nomor, Ilan baru bisa menjawab empat. Itu pun dia tidak yakin jika keempatnya benar.

Ilan melirik ke samping. Fahmi ada di situ. Dia menarik buku dari laci bangku lalu membukanya.

“Ssstt! Fahmi, jangan menyontek!” bisik Ilan dengan mata melotot.

Fahmi malah menempelkan telunjuk di bibir, meminta agar Ilan diam.  Ilan pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Perhatian Ilan teralihkan pada Ariel dan Gugum yang duduk di dekat jendela. Mereka tampak saling memberi kode jawaban dengan jari-jari dan gerakan mulut. Semua itu dilakukan sambil sesekali menoleh pada Bu Nia yang sedang menulis di meja guru agar tidak ketahuan.

Ilan mendesah, teringat ucapan Ariel di kantin sebelum masuk kelas.

“Pokoknya, siapa pun di antara kita berempat yang mendapat nilai paling rendah, dia harus mentraktir selama seminggu!” tegas Ariel.

“Setuju!” dukung Gugum sambil mengepalkan tangan.

“Baiklah,” sahut Fahmi.

Ilan menggigit bibir. Jengkel dan menyesal. Kalau saja dia bisa memutar waktu kembali, dia pasti akan menolak persetujuan konyol itu. Sayangnya, setelah Fahmi menyetujui, Ilan malah menganggukkan kepala tanda sepakat.

Ilan kembali melirik kertas pekerjaan Fahmi. Anak itu tinggal menyelesaikan dua soal lagi. Rasanya Ilan ingin juga mengambil buku catatan dari dalam laci. Tangan Ilan pun bergerak pelan meraih buku dan menariknya. Dadanya berdegup amat kencang.

            “Ayo, Ilan! Cepat buka bukumu sekarang!”  Ilan merasakan sebuah bisikan di telinga kirinya.

            “Jangan, Ilan! Itu curang namanya!” Bisikan di telinga kanan membalas.

            “Ah, tidak usah takut. Kamu tidak akan ketahuan.” Bisikan di telinga kiri kembali membujuk.

            “Tetap saja itu salah. Ayo, jangan dengarkan!” Ilan mendengar penolakan dari telinga kanan.

Bisikan-bisikan itu terus saling bersahutan, membuat batin Ilan berperang. Sekonyong-konyong ia teringat pada pembicaraannya dengan Ayah dan Bunda selepas salat magrib semalam.

“Di mana pun dan dalam keadaan apa pun, kita harus senantiasa berkata dan berbuat jujur,” kata Ayah.

“Contohnya seperti apa, Yah?” tanya Ilan penasaran.

Bunda yang menjawab. “Bunda kasih contoh yang dekat dengan kehidupan Ilan, ya. Waktu ulangan, bolehkah kita menyontek? Bisa jadi nilai Ilan akan bagus. Tapi itu bukan hasil usaha sendiri. Belum lagi kalau ketahuan. Bisa-bisa kamu mendapat sanksi dari guru dan dicibir murid-murid lain. Malu, kan?”

“Iya, juga, sih,” angguk Ilan.

Percakapan itu terus terngiang. Ilan yakin, Ayah dan Bunda mengatakan hal yang benar. Namun, Ilan juga tidak mau mendapat nilai rendah.

“Waktu pengerjaan tinggal dua puluh menit lagi, ya.” Bu Nia mengingatkan, membuat Ilan bertambah panik.

“Aku sudah selesai,” bisik Fahmi mengagetkan Ilan. “Kamu mau lihat jawabanku?”

“Hah?” Ilan terperangah.

“Nih, cepat!” Fahmi menggeser kertasnya lebih dekat ke arah Ilan. “Jangan sampai nilaimu jelek. Bisa-bisa uang sakumu nanti habis gara-gara mentraktir Ariel dan Gugum. Kalau aku jelas tidak mau. Kamu, kan, tahu mereka selalu kelaparan.”

Ilan terpaku. Bimbang. Lalu perlahan tangannya terulur, memegang kertas Fahmi.

Sepuluh menit kemudian, Ilan sudah meletakkan kertas ulangan di meja Bu Nia.

“Sepertinya kamu bisa mengerjakannya dengan mudah,” komentar Bu Nia melihat Ilan yang tersenyum-senyum.

“Tentu dong, Bu. Insyaallah, nilai saya bagus.” Ilan mengacungkan dua ibu jarinya.

Usai mencium tangan Bu Nia dan berpamitan, Ilan keluar dari ruang kelas. Sambil melangkah di koridor, Ilan mengingat kembali percakapannya dengan Fahmi.

“Aku sudah selesai. Kamu mau lihat jawabanku?”

“Hah?”

“Nih, cepat! Jangan sampai nilaimu jelek. Bisa-bisa uang sakumu nanti habis gara-gara mentraktir Ariel dan Gugum. Kalau aku jelas tidak mau. Kamu, kan, tahu mereka selalu kelaparan.”

Ilan terpaku. Bimbang. Lalu perlahan tangannya terulur, memegang kertas Fahmi.

“Ayo, Ilan! Cepat salin pekerjaan Fahmi!” Bisikan di telinga kiri muncul lagi.

“Jangan, Ilan!” Bisikan dari telinga kanan seolah berteriak.

“Apalagi yang kamu tunggu? Waktumu tidak banyak!” Bisikan telinga kiri mendesak.

“Kerjakan saja sendiri sebisamu, Ilan! Ingat janjmu pada Ayah dan Bunda!” tegas bisikan telinga kanan.

“Ah, mereka tidak akan tahu! Cepat!”

Detik demi detik berlalu. Sebuah senyuman tiba-tiba muncul di wajah Ilan. “Terima kasih. Tapi nggak usah, deh. Biar aku selesaikan sendiri saja.”

“Hah? Tapi …”

Ilan malah menyorongkan kembali kertas Fahmi. Ia lalu memperbaiki posisi duduk dan tidak melihat lagi Fahmi yang hanya bisa melongo. Tangan Ilan pun mendorong buku catatan yang sudah dipegangnya ke dalam laci.

Huff! Ilan mengembuskan napas lega. Rasanya memang tenang jika tidak berbuat curang. Apa pun hasil ulangannya nanti, llan sudah siap menerima.

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “PERANG BISIKAN”

Tinggalkan komentar