Ratri Ingin Jadi Penulis

Sore itu Ratri senang sekali. Ia mendapatkan kabar dari redaksi majalah anak. Cerpen pertamanya akan dimuat. Ia lalu menemui Bunda yang sedang membaca novel di teras.

“Bun, Bunda … cerpen Ratri mau dimuat!” serunya sambil memeluk Bunda.

“Alhamdulillah, Ratri memang anak Bunda paling hebat!” sahut ibunya senang.

“Ratri mau telpon Ayah,” kata gadis kecil itu sambil melepaskan pelukannya. “Pasti Ayah senang!” sambungnya yakin.

“Ratri, kasih tahu Ayahnya nanti malam saja ya.  Ayah, kan lagi sibuk kerja,” bujuk Bunda.

***

“Ayah, cerpen Ratri bentar lagi dimuat di majalah,” lapornya pada Ayah sehabis makan malam.

“O, ya?” jawab Ayah sambil tetap memandang ke arah laptop.

“Ayah!” kata Bunda memanggil.

“Ayah kurang suka Ratri nulis-nulis. Gara-gara sibuk nulis, nilai matematikanya jelek. Apalagi sekarang lebih sering fesbukan, bikin fanpage lah, blog, ngabisin waktu.”

“Tapi, kan, Yah,” sahut Ratri.

“Nggak ada tapi-tapian. Tugas Ratri adalah belajar, dan mulai sekarang, fasilitas laptop dicabut!” tegas Ayah lagi.

Ratri menangis, ia menoleh ke Bunda minta dukungan. Tapi ibunya pura-pura sibuk membaca majalah. Mau tak mau Ratri harus menuruti kemauan ayahnya. Ia menyesal. Seharusnya ia belajar matematika lebih giat lagi, sehingga tidak kena remedial seperti saat UTS bulan lalu.

***

Esok harinya, sepulang sekolah, Ratri duduk murung di teras. Biasanya jam segini ia sibuk menulis cerita di blog. Ibunya tidak tega melihat muka anak semata wayangnya yang biasanya selalu ceria.

“Ratri, kok murung? Masih sedih karena dilarang nulis di blog sama Ayah?” tanya ibunya.

“Iya, Bunda. Padahal cita-cita Ratri pengen jadi penulis hebat. Ratri juga mau nerbitin buku sendiri,” ujar Ratri kesal. Tangannya melempar-lemparkan kerikil warna-warni dari pot ke kolam ikan di depan rumah.

“Ya, udah. Kalau memang anak Bunda yang cantik ini pengen jadi penulis, Bunda setuju. Tapi ada syaratnya,” ujar ibunya sambil duduk di sebelah kanan, di lantai teras.

“Syaratnya apa, Bunda?” tanya anak kelas lima SD itu tertarik.

“Anak Bunda ini, harus janji mau rajin belajar, terutama matematika. Biar nilainya bagus dan Ayah senang. Terus .…”

“Terus apalagi, Bunda?” sahutnya tak sabar.

“Terus, harus rajin membaca buku apa saja, dan sempatkan untuk bermain dengan teman-teman. Karena, bagaimanapun, bermain itu pasti menyenangkan dan sehat. Dari bermain bersama teman-teman itu, Ratri bisa mendapatkan bahan cerita yang banyak dan menarik.”

“Begitu ya, Bunda?”

“Iya. Terus, Ratri juga harus rajin berlatih menulis.”

“Tapi, kan, Ratri nggak boleh pake laptop, Bunda”

“Hahaha … penulis jaman dulu menulis dengan tangan. Nanti Bunda belikan buku tulis yang tebal. Jadi, bisa menulis di situ, kapanpun. Asal, sudah belajar.”

“Gimana Ratri bisa ngirim ke majalah, Bunda?”

“Kalau cerpennya udah jadi, nanti Bunda yang ketikin, dan kirim pake email,” jelas ibunya lagi.

Aduuh, ia paling malas kalau disuruh menulis dengan tangan. Apalagi untuk belajar matematika, pelajaran yang paling dibenci. Sejak kelas satu, nilai matematikanya tak pernah di atas enam. Tapi ia harus belajar agar ayahnya senang, dan diijinkan untuk menjadi penulis.

Sejak saat itu Ratri rajin belajar matematika. Ia menurut setiap disuruh latihan soal. Karena kata ibunya, kunci dari pelajaran matematika adalah latihan soal. Ibunya dengan sabar menemani Ratri belajar. Ia sebenarnya anak yang cerdas. Hanya saja ia sudah terlanjur tidak menyukai matematika, jadi malas belajar.

Jadwal Ratri sekarang adalah, pagi sekolah, sore harinya, setelah mengaji ia bermain bersama teman-teman, lalu membaca buku. Malam harinya, setelah belajar, ia menulis di buku catatan yang dibelikan Bunda. Tanpa komputer pun hidupnya penuh dengan kegembiraan bersama teman-teman. Apalagi ibunya membelikan beberapa buku cerita yang sudah lama dia inginkan.

“Kalau ingin jadi penulis, harus banyak membaca, dan berlatih menulis,” begitu yang selalu ia ingat dari nasihat ibunya.

***

Suatu malam, seperti biasanya mereka berkumpul di ruang keluarga. Ratri sedang menyiapkan buku-buku untuk pelajaran esok hari. Tiba-tiba ayahnya memanggil.

“Ratri, sini Sayang!”

“Ya, Ayah!” jawabnya sambil mendekat.

“Lihat, apa yang Ayah bawa untuk anak Ayah yang hebat,” ujar ayahnya sambil menunjukkan sebuah majalah anak. “Tadi sewaktu mampir ke minimarket, Ayah beli ini. Eh, di kantor semua berebut membaca, terus menyalami Ayah, katanya anak Ayah hebat! Tentu saja Ayah heran, nggak tahunya ada cerpen Ratri yang dimuat.”

Terlihat wajah ayah Ratri begitu bangga. Ibunya juga terlihat senyum-senyum. Apakah itu berarti ia diizinkan menjadi penulis?

“Ayah bangga, tapi bukan berarti Ayah mengizinkan cita-cita jadi penulis dan mecabut larangan memakai komputer. Ratri harus membuktikan dulu dengan nilai matematika minimal tujuh di raport nanti.”

“Ratri berjanji Ayah, Bunda! Terima kasih! Ayah baiik deh!” serunya sambil memeluk Ayah.

Sekian.

Jonggol, 12/04/2014

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar