#TalisCerpen Seraung Antik

Sepulang sekolah, Seva bersiap menemani Nenek ke ladang. Sambil memanggul anjat dan memakai seraung, Seva membantu memanen daun biru, sejenis daun palem lebar yang tumbuh di hutan Kalimantan. Daun yang panjangnya mencapai enam meter itu disebut juga daun sang.

Langit yang cerah tiba-tiba mendung. Dengan cekatan Nenek mengambil daun sang.

“Kita harus segera pulang sebelum hujan,” kata Nenek dijawab Seva dengan anggukan.

Nenek akan membuat seraung, topi lebar khas Suku Dayak menggunakan daun sang.
Setelah dipanen, daun dikeringkan lalu disusun dan dijahit melingkar.
Nenek melapisi bagian atas seraung dengan kain warna-warni dan hiasan manik.

Krucuk… kerucuk… terdengar suara perut Seva keroncongan.
Ia memetik pucuk pakis muda di sepanjang jalan menuju rumah.
Seva membayangkan nikmatnya makan dengan tumis pakis.

Setibanya di rumah, Eci menyambut kedatangan Seva, “Pantesan rumahnya sepi.”

Seva terkejut melihat Eci berdiri di teras, “Sudah menunggu dari tadi, ya?”

Sambil mengangguk, Eci tersenyum lebar.

“Maaf, kami baru pulang dari ladang,” jawab Seva.

Seva memperkenalkan teman barunya, Eci kepada Nenek. Eci berasal dari Sumatra Barat.
Keluarga Eci pindah karena mengikuti Ayahnya yang ditugaskan di Kutai Barat.

“Saya teman sebangku Seva. Selama di sekolah, Seva banyak membantu saya,” kata Eci sambil mencium tangan Nenek.

“Oiya, ini titipan dari Ibu,” Eci menyerahkan rantang susun kepada Seva.

“Ayo, masuk! Sambil menunggu saya menyalin isinya,” ajak Seva.

Eci masuk ke dalam rumah kayu sederhana.
Eci memperhatikan seraung yang digantung memenuhi dinding.

“Kita dapat kiriman makanan, Nek!” seru Seva girang.

“Gulai pakis dan ikan asam padeh buatan Ibu,” imbuh Eci.

“Terima kasih, Eci!” kata Seva mengembalikan rantang yang sudah dicuci.

Seva tak sabar ingin menyantap pakis dengan ikan yang lezat.

“Sampaikan salam saya pada Ibu. Terima kasih, ya,” kata Nenek pada Eci.

Eci menangangguk lalu berpamitan.

Tik… tik… tik… bunyi hujan di atas atap seng terdengar berisik.

“Tunggu, jangan pulang dulu! Di luar gerimis,” cegah Seva.

“Saya lupa membawa payung, padahal tadi Ibu sudah mengingatkan,” sesal Eci.

“Saya punya ini,” Seva mengangkat seraung di kepalanya.

“Topi bundar?” tanya Eci membuat Seva terkekeh.

“Bukan topi, tapi seraung. Kami memakainya untuk melindungi kepala dari sengatan sinar matahari dan hujan,” Seva menjelaskan.

“Boleh saya pinjam?” pinta Eci.

Seva mengangguk dan melepas seraung di kepalanya.

“Pilih seraung yang baru saja!” kata Nenek menghampiri mereka.

Eci menunjuk seraung cantik berhias manik yang tergantung di dinding.
Dengan cekatan Seva mengambilnya dan dan membantu memakaikan seraung.
Eci merasa aneh saat pertama kali memakai seraung, namun tidak ada pilihan.

“Saya harus segera pulang!” Eci mempercepat langkahnya.

“Hati-hati, Eci!” pekik Seva.

“Terima kasih, Seva!” balas Eci sambil terus melaju.

***

Keesokan harinya, Eci membawa seraung ke sekolah. Teman-teman memuji seraung Eci.
Eci menjadi percaya diri dan memakainya. Sekali lagi teman-teman memuji penampilannya yang terlihat cantik dengan searung.

“Saya juga memakai seraung . Semua keluarga suku Dayak memiliki seraung di rumahnya,” kata Hevi.

Eci mengangguk mendengar penjelasan Hevi.

“Seraung ini buatan Nenek Seva, kan!” tebak Hevi.

“Betul sekali. Tahu dari mana?” tanya Eci.

“Motif maniknya antik. Kami belajar meniru motif ini kepada Nenek Seva,” jawab Hevi.

Eci melepas seraung lalu memperhatikan rangkaian manik di bagian tengah.
Warna-warni manik yang cantik, Eci menyukainya. Tetapi ia harus mengembalikanya.

***

“Terima kasih telah meminjamkan seraung antik ini, Seva,” kata Eci saat Seva masuk kelas.

Seva terkejut melihat Eci membawa seraung ke sekolah, “Kamu suka seraung itu?”

“Tentu saja saya suka. Teman-teman juga memuji seraung buatan Nenek,” jawab Eci.

Seva tersenyum, “Nenek terkenal dengan julukan perajin seraung antik.”

“Seraung buatan Nenek memang antik. Lihat! Susunan maniknya unik,” kata Eci membuat Seva bangga.

“Oiya, Nenek berpesan agar saya menyampaikannya padamu. Nenek menghadiahkan seraung itu untukmu,” kata Seva.

“Benarkah? Terima kasih, Seva. Saya akan menjaganya baik-baik,” kata Eci senang.

Saat pulang sekolah, Eci berjalan beriirngan bersama Seva.
Eci memakai seraung antiknya sambil menyanyikan lagu Topi Saya Bundar.

“Liriknya harus diganti!” protes Seva saat mendengar Eci menyanyi.

Eci menganguk lalu bernyanyi lagi dengan lirik yang baru, seraung saya bundar…

Seva ikut bernyanyi, lalu keduanya tertawa riang.

***

 

Catatan:
Foto seraung dipinjam dari
https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/seraung-pelindung-kepala-khas-kalimantan/

 

#TalisCerpen

Bagikan artikel ini:

Satu pemikiran pada “#TalisCerpen Seraung Antik”

Tinggalkan komentar