Tenang Saja Sansi

Sansi si lidah mertua baru saja menjadi koleksi terbaru di teras Kak Rona.

“Halo, namaku Sansi Sansiviera, tapi aku disebut juga lidah mertua,” ujarnya memperkenalkan diri.

“Selamat datang, Sansi. Aku Sela. Nama lengkapku Selaginella lepidophylla,” sapa sebuah tanaman berdaun hijau di samping Sansi.

“Halo, Sela. Eh, apa ini? Terlihat seperti batu berwarna-warni,” Sansi heran ketika melihat sekumpulan benda seperti batu berwarna hijau juga cokelat kemerahan di sebuah pot.

“Halo! Aku Loli. Kami ini lithops. Kami juga tanaman, lho,” kata Loli.

“Oh! Aku baru pertama kali melihat tanaman seperti kalian,” kata Sansi.

“Kak Rona memang suka mengoleksi tanaman unik, Sansi,” terang Sela.

Sansi melihat ke sekeliling. Sela benar. Tanaman di teras Kak Rona ataupun taman kecil di depannya memiliki bentuk yang unik. Ada juga beragam jenis kaktus dan sukulen.

Semoga aku bisa tinggal lama di sini, batin Sansi.

“Awas Oyen datang!” pekik Loli.

Tiba-tiba seekor kucing besar berbulu oranye mendekat. Ia lalu menggaruk-garuk tanah di pot para lithops hingga kerikil yang menutupinya berhamburan.

“Eh, eh. Berhenti, Oyen. Berhenti!” protes Loli.

Oyen beralih pada Sansi. Ia mengendus-endus sampai Sansi merasa geli. Kemudian ia mulai menggaruk tanah di pot Sansi.

“Jangan, Oyen!” pekik Sansi!

Oyen tak peduli. Setelah puas bermain tanah di pot Sansi, Oyen berpindah ke Sela. Oyen menggaruk tubuh Sela, lalu memukulnya. Sela terlempar dari wadahnya.

“Sela!” Sansi kembali memekik.

Oyen lalu bermain dengan Sela yang sudah terlempar. Ia menendang Sela hingga melesat ke bawah kursi teras. Jauh di pojok ruangan.

“Oyen! Kamu jahat sekali!” teriak Sansi.

Oyen malah duduk di depan Sansi sambil membersihkan cakar dan mukanya. Ia seperti mengejek Sansi yang tak bisa melakukan apa-apa untuk menolong temannya. Tak lama, Oyen pergi meninggalkan teras yang berantakan.

“Sela, apa kau tidak apa-apa?” tanya Sansi setengah berteriak.

“Tidak apa-apa, Sansi! Aku cuma sedikit pusing,” jawabnya.

“Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan Loli?” tanya Sansi panik.

“Tenang saja, Sansi. Aku baik-baik saja, kok,” ujar Sela menenangkan Sansi.

“Iya, Sansi. Tenang saja,” kata Loli.

“Bagaimana aku bisa tenang? Sela bisa mati kalau terlalu lama di sana,” kata Sansi lagi.

Sela malah terkekeh mendengarnya. “Tidak usah khawatir, Sansi,” katanya lagi.

Sansi mengira Kak Rona akan segera datang dan membereskan semuanya. Namun, ternyata sampai berhari-hari kemudian, Kak Rona tidak terlihat.

“Kak Rona mana, sih? Aku, sih, bisa bertahan berhari-hari tanpa disiram. Tapi bagaimana dengan tanaman seperti Sela?” keluh Sansi. Ia masih terus mengkhawatirkan Sela.

“Kak Rona memang sering bepergian, Sansi. Tunggu saja. Nanti dia akan datang,” jawab Loli.

“Aduh. Harus berapa lama lagi kita menunggu?” tanya Sansi. “Sela. Sela. Apa kau bisa mendengarku? Jangan-jangan dia sudah pingsan di sana.”

“Aku bisa mendengarmu, Sansi. Aku baik-baik saja, kok,” jawab Sela. Suaranya terdengar tenang dan santai.

Lebih dari seminggu, Kak Rona tak kelihatan batang hidungnya. Sansi makin cemas. Apalagi cuaca makin panas dan kering. Sansi takut, Sela tak akan bisa bertahan. Saat matahari menyinari teras, Sansi sekilas melihat daun Sela sudah berubah layu dan menjadi cokelat. Sansi sedih sekali. Ia mungkin akan kehilangan teman barunya itu.

Setelah hampir dua minggu, Kak Rona akhirnya pulang. Ia datang dengan menggendong ransel besar. Kak Rona menggeleng dan berdecak heran saat melihat teras yang berantakan. Sore harinya, Kak Rona mulai membereskan teras. Namun, Sansi sudah putus harapan. Ia yakin Sela, teman barunya itu kini tinggal kenangan.

Saat menyapu teras, Kak Rona mengambil Sela dari bawah kursi. Sansi melihat tubuhnya sudah kering dan menggulung seperti bola. Sansi benar-benar sedih dan kecewa.

Kak Rona membawa Sela ke tempatnya semula. Ia lalu menuangkan air ke wadah tempat Sela. Sansi baru memperhatikan bahwa wadah itu tidak terisi tanah. Kak Rona kemudian meletakkan tubuh Sela yang kering di wadah berisi air tersebut. Melihat tubuh kering Sela, Sansi menjadi makin sedih.

Namun, seperti sebuah keajaiban, gulungan tubuh Sela mulai membuka. Perlahan makin besar dan nyaris seukuran Sela semula. Sansi membelalak. Tubuh Sela yang kering terlihat menghijau lagi. Dalam waktu beberapa jam, tubuh Sela subur kembali seperti sebelumnya. Ia tampak sempurna.

“A-apa yang terjadi padamu, Sela? Aku pikir kau sudah …,” Sansi tak bisa menyelesaikan kalimatnya.

“Hihihi. Ya, beginilah aku, Sansi. Aku bisa hidup kembali meski sudah mengering. Makanya aku disebut Tanaman Kebangkitan,” jawab Sela.

“Tanaman kebangkitan?” Sansi makin heran.

“Iya. Asalku dari gurun di Meksiko sana karena itulah aku bisa bertahan saat panas dan tidak ada air. Jadi, jangan heran, ya, Sansi,” terang Sela lagi.

“Iya, Sansi. Kan, sudah kubilang. Tenang saja,” kata Loli sambil terkikik.

“Wow! Kau ternyata benar-benar unik, Sela!” puji Sansi.

“Kau juga, Sansi. Kita semua di sini adalah tanaman-tanaman yang unik,” jawab Sela.

Bagikan artikel ini:

4 pemikiran pada “Tenang Saja Sansi”

  1. Baguus ceritanya ringan. selamat kaka yeni saputri.aku juga mau jadi sela si tanaman kebangkitan.
    Kalo ga yaa jadi sela-mat datang, sela-mat ulangtahun atau sela-mat malam duhaii kekasiih ?

    Balas

Tinggalkan komentar