Uang Jajan Hasil Contekan

Uang sepuluh ribu rupiah itu telah berganti menjadi semangkuk bakso panas. Sepertinya sangat lezat, Wira mencicipi kuah dan menuang sedikit sambal ke mangkoknya. Hmm… makan bakso sepulang sekolah memang terasa nikmat sekali, tiada duanya.

“Bagi dong?”

Suara itu terdengar khas di telinga Wira.

“Abang pesan aja, nanti Wira bayar.” kata Wira tanpa menoleh ke arah sumber suara.

“Wah, banyak duit kau, siap, abang pesan semangkok sama es jeruk ya”

Wira mengangguk, “pesan sesuka abang saja”

Tian dan Wira kini sama-sama menikmati semangkuk bakso panas. Rasa lelah sehabis mengerjakan ujian tengah semester hilang sudah. Mereka menyesap kuah bakso dalam diam , walau tak lama kemudian, dua mangkok bakso tandas seketika. Setelah selesai jajan bakso, Wira dan Tian menuju halte bus terdekat untuk pulang.

“Eh itu ada tukang mie lidi, abang mau?” kata Wira sambil menunjuk motor di samping halte.

“Boleh,” jawab Tian.

Setelah sampai di halte, sembari menunggu bus sekolah lewat, Wira memesan dua porsi mie lidi setengah pedas. Uang sepuluh ribu rupiah kini berganti menjadi dua bungkus mie lidi favorit Wira.

“Yummy..” kata Wira sembari menguyah mie lidinya.

“Emang nggak salah sih kalau mie lidi ini cepat habis di sekolah, gurih banget,” ujar Tian yang juga menguyah mie lidinya pelan-pelan, ia juga sangat menyukai jajanan itu.

Bus sekolah pun datang, Tian dan Wira bergegas masuk kedalam. Kali ini, bus yang membawa mereka pulang tak terlalu ramai. Mungkin karena beberapa sekolah sudah libur karena telah melaksanakan ujian tengah semester lebih dulu.

Sesampainya di rumah, Wira dan Tian mencuci tangan dan kaki. Setelah semua bersih, mereka merebahkan diri diatas kasur. Jam menunjukkan pukul 13.30, masih banyak waktu untuk beristirahat sebelum sore tiba.

Besok adalah hari terakhir ujian, Wira dan Tian harus belajar extra keras nanti malam. Ujian pelajaran terakhir adalah matematika, mata pelajaran yang menjadi momok bagi sebagian siswa di sekolah.

Suara dengkuran Tian terdengar jelas di telinga Wira, membuat ia tak bisa tidur siang. Alih-alih pindah ke kamar mama, Wira mengambil buku latihan soalnya dan mulai mengerjakan bab 1. Bagi Wira, belajar matematika cukup menantang. Bab awal misalnya, pelajaran kelas VII SMP hampir sama dengan pelajaran di kelas 6 SD.

Tak terasa sudah satu jam lebih ia mengerjakan soal latihan. Kisi kisi soal dari bu guru akan dikerjakannya nanti malam. Wira mulai mengantuk, masih ada waktu satu jam sebelum adzan ashar berkumandang. Akhirnya ia tertidur juga disamping Tian.

“Wira… wira, bangun, sudah adzan ashar”, Tian menggoyang badan Wira.

Wira menggeliat bangun sambil mengucek matanya. Sekilas ia dapat melihat Tian sudah siap pergi ke mushola. Wira mengambil sarungnya dan bergegas menyusul kakaknya.

Setelah sholat ashar selesai, Wira berjalan cepat mendahului Tian, ia teringat abang penjual susu kotak yang mangkal di gardu RT. Sudah lama sekali ia ingin membelinya.

“Semoga abangnya belum pergi”, bisik Wira sambil berjalan.

Tian menyusul Wira dengan terengah-engah, “Ya ampun Wir, aku fikir kenapa? Kamu mau jajan susu?”

“Iya bang, hehe, mau juga?”

“Ambilkan aku yang coklat, yang besar ya”

Wira mendengus, “aku aja beli yang kecil”

“Glek, glek, glek… “

Tian mengelap sisa susu di tepi mulutnya. “Segarr sekali Wir, terima kasih ya”.

“Sama – sama bang”, jawab Wira sembari tersenyum.

“Uang sakumu kok dihabiskan Wir, itu jatah seminggu lho, kalau habis jangan minta punyaku ya”

Wira menggeleng, “Nggak akan bang, aku ada bisnis dengan teman kok, makanya punya uang lebih”.

“Haha, lagakmu seperti sudah dewasa Wir, bisnis apa? Abang boleh ikutan?”

“Nggak boleh dong, ini bisnisnya hanya untuk kelasku saja dan dilakukan di hari-hari tertentu”.

Tian mengangkat bahunya, sejenak berfikir, bisnis macam apa yang dilakukan oleh anak kelas VII SMP, “terserah kamu Wir, asal jangan lupa sama Abangmu yang paling ganteng ini kalau punya uang lebih”

“Haha… siap Bang”

Malam harinya, Tian dan Wira tampak fokus di meja belajar masing-masing. Deretan angka-angka membuat mereka tak menghiraukan camilan yang disediakan Mama. Potongan melon, apel hingga kripik singkong masih belum bergeser dari tempatnya. Teh hangat yang disediakan Mama juga belum mereka minum.

“Aku tidur duluan ya Wir, sudah jam 9 malam ternyata, eh makan dulu nih camilan dari Mama” kata Tian sembari menutup buku latihannya.

“Ya kak, sebentar, aku juga sedikit lagi selesai kok”

Setelah jam menunjukkan pukul 23.00, Wira menutup buku latihannya. Ia duduk disamping kasur sambil menikmati sisa buah yang ada. Ternyata mata Wira sudah mulai berat. Ia membereskan piring dan menutup toples kripik. Setelah membersihkan dirinya, Wira beranjak pergi ke kasur. Rasanya ia sudah tak sabar untuk mengerjakan ujian esok hari.

Ujian matematika kali ini cukup sulit, beberapa kali Wira harus mengoreksi ulang jawaban- jawaban yang ia punya. Matematika memang butuh ketelitian dalam mengerjakannya.

“Sudah belum?”

Wira sedikit terusik dengan suara Dimas, ia duduk tepat disamping mejanya. “Belum,”

“Jangan lama-lama Wir”

Wira hanya diam sambil terus mengerjakan soal matematika. Ia tulis beberapa jawaban dalam sobekan kertas kecil. Sepuluh nomor di bagian B saja, ini cukup. Selama ini, untuk mendapatkan uang jajan tambahan, ia memang menjual jawaban-jawaban ujian pada Dimas.

“Nih,” kata Wira sembari membuang kertas kecil ke kaki Dimas.

Dimas tersenyum dan mulai menyalin semua jawaban yang diberikan Wira. Setiap nomornya bernilai 3.000 rupiah. Ini berarti, ia hanya akan mengeluarkan 30.000 rupiah saja karena Wira hanya memberikan 10 nomor. Nilai yang sangat murah dibandingkan harus mendengarkan ceramah Mama dan Papa jika nilai ujiannya jelek.

Setelah ujian matematika, transaksi bisnis Wira dimulai, Dimas memberikan uang 30.000 pada Wira. Sambil berjabat tangan, Wira memasukkan uang tersebut ke kantongnya dan bergegas pergi ke kantin sekolah. Ia sangat lapar walaupun tadi pagi sudah sarapan, mungkin akibat ujian matematika.

“Teeeettt……………….tettttt……………..”

Bel masuk berbunyi, Wira bergegas masuk ke kelas sambil mengunyah sisa kebab jumbo favoritnya.

“Ujian matematika mau dibagi Wir,” bisik Cessa yang duduk di depan Wira.

Wira melihat ke meja Guru, sepertinya itu ujian map matematika yang tadi. Dada Wira berdegup sejenak, akankan jawabannya benar semua? Dimas sudah membayarnya cukup banyak.

“Siang anak-anak,”

“Siang Bu…”

Ibu guru tersenyum dan memandangi murid satu persatu. “Siang ini, sebelum kalian pulang, Ibu akan memberikan hasil akhir ujian kalian. Biasanya Ibu membagikan hasil ujian ini esok hari, , mengingat besok kalian sudah liburan, hasil matematika sudah Ibu koreksi lebih cepat dari biasanya.”

Sambil membolak-balik kertas yang ada di tangannya, Ibu guru memanggil satu persatu nama para murid, “Dimas, Angga, Kakya, Indri, Wira….”

Semua murid menerima kertas ujian berisi nilai matematika. Dimas kaget bukan kepalang, 10 angka yang disangka betul semua, ternyata salah 8. Bagian lain pun banyak yang salah. Nilai matematikanya  merah hari ini, Dimas mendapat poin 60. Ia ingin marah pada Wira namun ditahannya. Sepulang sekolah, ia akan meminta balik uang sakunya pada Wira.

Di mejanya sendiri, Wira tak kalah bingung, ia mencoba menghitung ulang bagian yang salah. Ternyata ia memang kurang teliti, ia salah penulisan beberapa angka. Mukanya pucat pasi, Wira memikirkan bagaimana cara ia mengembalikan uang Dimas secara utuh, uang 30.000 sudah berganti menjadi kebab daging jumbo dan es coklat, tersisa 5.000 rupiah saja.

“Kembalikan uangku,” gertak Dimas didepan kelas. Mereka sudah pulang sekolah dan kelas sudah mulai sepi.

“Tunggu dulu, kita ke kelas abangku dulu, uangmu sudah habis untuk jajan,”

“Ayo,”

Dimas masih memasang muka kesal pada Wira, namun dengan langkah cepat, ia mengikuti Wira menuju kelas IX.

Wira menemui abangnya dan meminta uang dengan rasa takut. Ia menceritakan semua pada Tian tentang “bisnisnya” dan berjanji akan menggantinya dengan uang yang Wira miliki di rumah.

“Nanti aku ganti Bang,” ucap Wira dengan muka takut.

“Kamu ini sudah bohong lho Wir, tidak jujur, nanti mengakulah sama Mama dan Ayah. Uang Dimas biar aku bayar dulu,” tegas Tian.

Setelah Dimas mendapatkan uangnya, Tian dan Wira berjalan pelan menuju halte bus sekolah. Tian masih kesal pada sikap Wira, ia tak habis fikir, kenapa adiknya melakukan perbuatan tidak jujur selama ujian. Memberikan contekan sama saja dengan meminta contekan, sama-sama perbuatan tidak jujur.

Tian mengingatkan Wira untuk menceritakan semua pada Mama dan Ayah, adiknya tak boleh melakukan hal serupa di lain waktu.

Dalam diam, Wira berfikir akan kesedihan Mama dan Ayah atas ketidakjujurannya. Perilaku tidak jujur memang awalnya manis, tapi ia akan membawa petaka dan kesengsaraan bagi pelakunya di akhir peristiwa.

Wira menyesal sekali. Ia tak ingin mengulangi ketidakjujurannya lagi.

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Uang Jajan Hasil Contekan”

Tinggalkan komentar